Koalisi Masyarakat Sipil dan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) menyatakan intoleransi masih menjadi ancaman terbesar Pancasila, oleh karena itu, Ia meminta pemerintah untuk menjamin setiap warganya bisa beribadah kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai keyakinannya masing-masing.
Hari Pancasila tahun ini diperingati ketika kasus intoleransi masih terus terjadi, salah satunya di Kabupaten Garut dimana Bupati mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol tentang pelarangan aktivitas dan pembangunan Masjid Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, yang diikuti penyegelan Masjid oleh Satpol PP pada 6 Mei 2021.
“Selain mencederai nilai-nilai Pancasila, apa yang dilakukan Bupati Garut turut ambil andil terhadap tindakan nya yang tidak sesuai dengan koridor kewenangan nya, seperti diketahui bahwa Urusan Agama sepenuhnya adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil dan OBH Lasma Natalia, Senin, (1/6/2021).
Hari Lahir Pancasila 1 Juni banyak diperingati dengan diskusi serta seminar kebangsaan. Namun di akar rumput, ada situasi yang menodai Pancasila dan luput dari perhatian. Maka, Direktur LBH Bandung tersebut juga mengajak masyarakat menjadikan Hari Pancasila sebagai momentum untuk untuk merefleksikan situasi kebangsaan, termasuk intoleransi. Karena itu dia menyerukan semangat toleransi antar-umat beragama sebagai cara menghidupkan Pancasila.
“Relevansinya dengan sekarang adalah semangat kemanusiaan, penghormatan terhadap HAM, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Memanusiakan orang lain dengan bertoleransi merupakan sikap yang tepat dalam menghidupkan Pancasila,” ungkap Lasma.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyayangkan tindakan intoleran yang dilakukan Bupati Garut terhadap Jamaah Ahmadiyah. Menurutnya, Surat Edaran Bupati Garut terkait pelarangan aktivitas dan pembangunan Masjid telah melanggar Hak asasi Manusia (HAM).
Komnas HAM telah membaca surat edaran pelarangan dari Bupati Garut tersebut. Ada dua hal utama yang menjadi dasar surat dan hal itu menarik perhatian, yaitu terkait fatwa MUI dan SKB 3 Menteri tentang larangan Ahmadiyah.
“Surat edaran Bupati Garut kalau dilihat dari prinsip dan standar HAM itu sudah salah karena pada poin pertama bicara tentang pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pembatasan HAM harus selevel Undang-Undang, tidak bisa hanya selevel SKB 3 Menteri, ” jelas Beka.
Beka melanjutkan, jika pemebatasan HAM didasarkan untuk melindungi keamanan, ketertiban umum, kesehatan, hak-hak dan kebebasan dasar orang lain bukan kepentingan politik karena pada prinsipnya kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak dapat dipaksa.
Terkait fatwa MUI, Beka berkomentar jika fatwa MUI tidak bisa dijadikan sebagai dasar pemerintah daerah atau pemerintah pusat untuk membuat suatu kebijakan karena fatwa MUI tidak ada dalam struktur dasar perundang-undangan.”
Fatwa MUI berfungsi menjaga kerukunan bukan sebagai dasar kebijakan. Fatwa dari MUI menjadi ranah dialog bukan dasar suatu kebijakan karena MUI sama dengan NU, Muhammadiyah yang merupakan organisasi masyarakat,” pungkasnya.