Geentra- Soetisna Sendjaja tokoh Paguyuban Pasundan asal Wanaraja, Garut yang lahir pada 27 Oktober 1890. Ia merupakan tokoh pers ternama pendiri koran Sipatahoenan bersama Ahmad Atmadja yang terkenal di tatar pasundan pada tahun 1923.
Bernama lengkap Moehamad Soekarna Soetisna Sendjaja, ia merupakan salah seorang pribumi berpendidikan yang memiliki peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional. Berpikiran kritis dan visioner yang sukses mengangkat derajat masyarakat pribumi khusunya masyarakat Sunda.
Pendidikan dan Karir
Soetisna Sendjaja menempuh pendidikan di Sekolah Hoogre Kweek School (HKS) di Bandung pada tahun 1911. HKS merupakan salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda yang berdiri sejak 1865.
Pada zaman penjajahan Jepang, ia aktif menjadi anggota Chou Sangi in. selain itu, ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indoseia Pusat (KNIP) Tasikmalaya dan menjadi koordinator pergerakan masyarakat pada zaman perjuangan revolusi fisik.
Soetisna Sendjaja memiliki andil yang besar dalam pembangunan Nahdlatul Ulama (NU) di Tasikmalaya. Ia juga aktif menjadi pengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasundan 1 Tasikmalaya. Mengajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah untuk bumiputera pada zaman pemerintahan Belanda di Indonesia.
Selain menjadi guru, ia juga terkenal sebagai tokoh jurnalistik asal Sunda karena kiprahnya. Antara lain sebagai redaktur di beberapa surat kabar lokal berbahasa Sunda. Redaktur koran Siliwangi (1921-1922), koran Sipatahoenan (1923-1931), koran Langlajang Domas (1927-1928), majalah Al-Mawa’idz, dan majalah Kalawarta Kudjang (1956).
Koran Sipatahoenan
Koran Sipatahoenan karya Soetisna Sendjaja, sukses menggiring masyarakat Sunda modern pada keterbukaan penerimaan informasi baik lokal, nasional, ataupun internasional. Kelahiran Sipatahoenan menandai revoluasi intelektual masyarakat Sunda modern.
Hadirnya koran Sipatahoenan merupakan cikal bakal munculnya insan jurnalistik yang menerbtikan koran serta majalah lokal. Sipatahoenan juga mendorong dinamika jurnalistik dengan Bahasa Sunda pada era kejayaan. Sejak itulah, Tasikmalaya menjadi ikon revolusi jurnalistik Sunda modern.
Sipatahoenan adalah salah satu surat kabar karya jurnalistik Sunda terbaik yang terbilang sukses dan banyak digemari oleh pembaca, khususnya oleh masyarakat Sunda. Surat kabar ini dimanfaatkan oleh Soetisna Sendjaja sebagai media untuk menuangkan pemikiran-pemikiran kritisnya.
Melalui tulisan-tulisannya dalam koran Sipatahoenan, ia menuangkan berbagai gagasan dan aspirasi bagi masyarakat di tatar Pasundan. Surat kabar itu menyajikan berbagai informasi mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial, sampai semangat perjuangan dalam merebut kemerdekaan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Penutup
Soetisna Sendjaja merupakan seorang ulama terkemuka dan tokoh jurnalistik yang mampu menyerap paham-paham modern seperti nasionalisme dan sosialisme. Sehingga ia melahirkan beberapa konsep pemikiran tentang perjuangan, kemerdekaan, kebangsaan, sosial, politik, ekonomi, hingga keagamaan.
Soetisna Sendjaja wafat pada 11 Desember 1961 di usia di usia 71 tahun. Namun, pengaruh dan warisan yang ia tinggalkan masih terasa hingga saat ini. Ia merupakan sosok luar biasa di bidang agama, jurnalistik dan sosial. Ia juga merupakan sosok inspiratif bagi banyak orang, terutama bagi generasi muda.