Garut – Sejumlah komunitas lintas agama dan keyakinan dari Kabupaten Garut dan Tasikmalaya, menggelar diskusi Refleksi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat.
Komunitas yang terlibat dalam giat tersebut di antaranya LBH Anshor Tasikmalaya, Forum Daiyyah Fatayat, Wahidiyyah Tasikmalaya, Tarekat Idrisiyyah Tasikmalaya, FKKG (Forum Komunikasi Kristiani Garut), Komunitas Budha, Komunitas Hindu, Youth FKKG, SEPMI Garut, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), ABI, Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Sunda Wiwitan, ISRA (Integrated Society Rescue Action) Tasikmalaya, Naisyiatul Aisyiyah, Persistri, dan Lajnah Imaillah.
Kegiatan dengan tema “Harapan dan Tantangan KBB Menyongsong Tahun Politik: Refleksi Tahun 2023” dilaksanakan di Cafe Suhunan Masagi, Jalan Sudirman, Kabupaten Garut, Sabtu (27/01/2024).
Penanggung jawab program KBB untuk Persaudaraan dan Toleransi di Kabupaten Garut, Chotijah Fanaqi, menyampaikan bahwa Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan ini adalah merefleksikan Kehidupan Kebebasan Beragama di Jawa Barat, terutama di Garut dan Tasikmalaya.
Ia mengatakan penting untuk membangun kesepemahaman bersama tentang pentingnya pemenuhan hak-hak kebebasan sipil, beragama, dan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang dimiliki setiap warga negara.
Menurut Chotijah, terdapat peran penting untuk nendialogkan peran Civil Society Organization (CSO) dalam upaya pemenuhan hak-hak sipil, serta melahirkan sejumlah rekomendasi bagi lahirnya kebijakan yang mendorong pemenuhan hak-hak sipil dalam aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta mendorong ketegasan penegakan hukum bagi siapa saja yang melanggar hak-hak sipil tersebut.
“Untuk mencapai tujuan-tujuan kegiatan tersebut, kami sengaja mengundang peserta aktif dari berbagai organisasi dan komunitas yang selama ini menjadi mitra program Fatayat, baik di Tasikmalaya maupun di Kabupaten Garut” Ujar Chotijah.
Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Garut, Heri M. Tohari menjelaskan, bahwa Garut memiliki sejarah panjang dalam perjalanan panjang mutikulturalisme di jawa Barat. Hal tersebut terbukti bahwa seperti apapun konflik keagamaan yang terjadi di Garut, tidak pernah ada gesekan fisik yang melahirkan hal-hal yang tidak diharapkan.
Menurutnya, sejarah multikulturalimse ini tidak terlepas dari fakta sejarah serta peranan FKUB sebagai forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. FKUB bersifat independen dalam menetapkan kebijakan melalui musyawarah dan mufakat.
Heri menyampaikan, bahwa potensi multikulturalisme ini harusnya menjadi narasi positif yang bisa disepakati oleh semua pihak, bukan sebaliknya malah membesar-besarkan perbedaan yang ada seperti yang terjadi seperti sekarang ini.
Selain itu, ketua PC Fatayat NU Kabupaten Garut Ai Sadidah memaparkan, bahwa salah satu cara untuk menangani persoalan kesenjangan di masyarakat yang disebabkan oleh kasus intoleransi adalah pemanfaatan media digital yang saat ini tidak bisa dihindarkan.
Ai Sadidah menjelaskan, perlunya untuk menyebarkan narasi-narasi positif sebagai kontra narasi intoleransi diyakini menjadi salah satu cara menangani bagaimana kampanye KBB bisa menghiasi media kita, baik media konvensional maupun media baru melalui media sosial.
“Konten kita di media sosial akan menjadi ‘senjata’ bagi kita untuk mensuarakan islam yang nir-kekerasan, islam yang ramah, serta islam yang toleran,” kata Ai Sadidah.
“Tentu tidak hanya pesan agama islam saja, sebab kekerasan dan diskriminasi merupakan musuh semua agama, maka saya fikir kita sebagai komunitas agama bersepakat untuk menggaungkan toleransi di atas perbedaan yang ada” Ujar Ai sadidah menjelaskan.
Kampanye Kebebasan Beragama ini tentu bukan tanpa tantangan, banyak hal yang perlu dibenahi dalam upaya mewujudkan kehidupan harmoni di atas perbedaan yang ada.
Koordinator Solidaritas Jaringan Antarumat Beragama dan Kepercayan (Sajajar) Usama Ahmad Rizal yang menyampaikan, berkenaan dengan tantangan advokasi KBB di tahun politik yang penting untuk diingat bagi para pemangku kebijakan.
“Para pemangku kebijakan sudah seharusnya aware terhadap hak-hak keagamaan yang merupakan hak-hak paling fundamental setiap warga negara yang wajib dipenuhi. Jika tidak, menurutnya bukan tidak mungkin jika hak-hak warga negara lainnya akan terlanggar,” kata Rizal.