Belanda melakukan agresi militer pada tahun 1927 sehingga badan-badan pertahanan di Jawa Barat (Jabar) membentuk wilayah pertahanan yang disebut dengan Wehrkreise III, yang pada saat itu pemerintahan sipil di Jabar dipimpin oleh Gubernur Sewaka.
Ketika pada saat Belanda melakukan penyerangan ke wilayah Jabar sehingga kedudukan pemerintah wilayah sipil melakukan perpindahan mulai dari Padayungan, Tasikmalaya hingga Lebak Siuh.
Tahun 1927 daerah Lebak Siuh masih berupa perkampungan, terletak kurang lebih 70 km di selatan Kota Tasikmalaya.
Lebak Siuh berada di wilayah Desa Cipicung, Kecamatan Bantarkalong, Kewedanan Karangnunggal yang pada saat itu wilayahnya masih di kelilingi hutan.
Pada saat wilayah Lebak Siuh dipimpin oleh Abdul Samad, di kependuhan ini Gubernur Sewaka membuka kantor darurat pemerintahan sipil guna menjalankan pemerintahannya.
Mengapa Tasikmalaya dipilih menjadi ibu kota/pusat pemerintahan sementara, karena letak geografis Tasikmalaya dekat dengan wilayah Jawa Tengah guna kelancaran komunikasi pemerintahan sipil yang pada saat itu dipaksa untuk mundur ke wilayah Jawa Tengah, karena di Jabar mengalami kekosongan kekuasaan/pemerintahan.
Peta Gubernur Sewaka menuju Lebak Siuh dari pusat Kecamatan Karangnunggal mengambil rute Pamijahan menuju Panyalahan, kemudian ke Cilumbu hingga tiba di kampung Lebak Siuh.
Raden Djakarsih menerima kedatangan Gubernur Sewaka dan langsung memerintahkan beberapa pemuda desa untuk menjemput rombongan Gubernur yang terdiri dari Gubernur Sewaka bersama istri dan puterinya Juag Nani, sekertaris Gubernur Enoh dan istrinya Nyonya Loho, ajudan Gubernur Kapten Sulaeman, supir Gubernur beserta istri dan anak-anak residen Bogor (Barnas) dan putrinya Juag Ita serta residen Priangan (Ardiwinangun).
Mereka menempuh perjalanan melalui medan yang berat dan menerobos hutan belantara sampai mendaki gunung dan perbukitan.
Rumah seorang khotib umah H. Abdul Hamid di Lebak Siuh dijadikan kantor sementara Pemerintahan Jabar, guna memberitahukan bahwa pemerintahan masih ada dan menunjukan eksitensi keberadan agar Bupati menjalankan kebawajibannya sebagai pegawai Republik Indonesia.
PEMBENTUKAN WEHRKREISE III
Sutoko pindah tugas ke Tasikmalaya pada tanggal 1 juli 1927, dia diangkat menjadi kepala staf pertahanan Jabar dibawah pimpinan A.H. Nasution dibidang teritorial pasukan Siliwangi menjalankan segala aktivitasnya di wilayah Kota Tasikmalaya, bahwa pasukan siliwangi masih eksis mengawasi patrol Belanda yang takut menyerang dan melumpuhkan segala aktivitas pemerintahan Gubernur Sewaka di wilayah Tasikmalaya yang pada saat itu menjadi Ibu Kota Jabar sementara.
Wehrkreise memiliki pengertian daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (kreise) yang dapat mengadakan pertempuran (wehr) secara berdiri sendiri. Susunan komando Werhrkreise III Letnan Sutoko, komandan Letnan Sugianto, Kepala Pengawal Komandan dr Akil Asikin Dokter tentara. Wilayah Wehrkreise III meliputi Tasikmalaya, Ciamis Selatan berbatasan dengan Jawa Tengah.
Tujuan didirikannya agar terjalin kerjasama antara masyarakat dan tentara sehingga hubungan antara sipil militer/keamanan dan masyarakat berhubungan dengan baik.
Taktik Wehrkreise membangkitkan semangat juang rakyat dan disiplin menjalankan tugas, pemuda pada saat itu menjadi kurir atau pengirim surat dengan gagah berani menerobos daerah musuh untuk menghubungi para pemimpin gerilya yang ada di kota.
Sebenarnya Belanda melakukan serangan miiliter di Kota Tasikmalaya 21 Juli 1947 (agresi militer Belanda I) dengan melakukan serangan udara, sekitar pukul 06.00 WIB kapal terbang Bomber Mitchel Belanda menggempur kota Tasikmalaya dengan sasaran lapangan udara Cibereum, pabrik senjata, RRI Bandung (yang sementara pindah ke Kota Tasikmalaya).
Pukul 14.15-14.30 WIB pesawat militer belanda Kembali menembaki lapangan Udara Cibereum dan jalan menuju Manonjaya/Sutisna Senjaya, kemudian Kolonel A.H. Nasution memindahkan markas Divisi Siliwangi Ke Padayungan.
Pertempuran Agresi Militer Belanda I terjadi di wilayah Karangresik Tasikmalaya saat itu Belanda ingin menguasai wilayah Tasikmalaya yang datang dari arah Ciamis.
Para pejuang dan para pemuda Tasikmalaya sudah mengetahui bahwa Belanda akan datang dan menguasai wilayahnya sehingga bersembunyi di dekat jembatan Karangresik, maka terjadilah pertempuran antara Belanda dan para pejuang baik militer dan laskar-laskar yang ada di wilayah Tasikmalaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa pengeboman wilayah Karangresik terjadi pada tahun 1948, selain itu juga terjadi pertempuran di wilayah barat Tasikmalaya yaitu Mangkubumi yang sering disebut dengan pertempuran Bukit kacapi.
Bukit yang menjulang tinggi pengadangan dilakukan oleh detasemen Garuda Putih pimpinan Tatang Aruman Burdah serta Kesatuan Yon 3135 pimpinan Kapten Sani Lupias serta pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), pertempuran terjadi dari pukul 14.00 hingga malam hari.
Korban-korban pun berjatuhan, dari TNI 5 anggotanya gugur, dan 3 lainnya mengalami luka-luka berat.
Sehingga para pejuang memerintahkan ke masyarakat untuk menguburkan dan mnegurus jenazah para suhada yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui pesawahan-pesawah dan bukit yang melintas di Kampung Genteng dan kemudian jenajah pejuang diurusi dan dikuburkan oleh salah satu Ajengan yaitu Ajengan Gunung Yuda yang bernama Alm. Ajengan Hiban, diurusi secara Islam karena pejuang tersebut beragama Islam.
Maka Alm. Ajengan Hiban mengurus dan memakamkan para pahlawan yang telah berjuang berperang di pertempuran Bukit Kacapi Mangkubumi, dan disemayamkan di Gunung Yuda Desa Cigantang, Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya.