Polemik Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak hanya terjadi di lingkup fraksi DPR, termasuk juga di masyarakat awam. Berembus kabar bahwa RUU ini, yang apabila disahkan, dapat melanggengkan fenomena seks bebas, membebaskan cara berpakaian, serta melegalkan LGBT dan aborsi.
RUU P-KS pun dituding sebagai produk Barat, dimana nantinya para pendukung RUU ini akan memperjuangkan ketersediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan LGBT. Muncul juga interpretasi bahwa RUU ini akan menyampingkan UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, bahkan UU Perkawinan karena dalam hukum berlaku asas lex posteriori derogat legi priori, yakni undang-undang terbaru akan menyampingkan undang-undang lama.
Menafsirkan RUU PKS sesuai sudut pandang masing-masing memang sah-sah saja. Namun, jika draft RUU ini dikritisi, terdapat banyak urgensi yang ternyata menjadi bias karena miskonsepsi.
Merekonstruksi Makna Kekerasan Seksual
Mengutip dari draft RUU PKS, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Dalam pasal tersebut, terdapat pula pelecehan seksual nonfisik yang masuk ke dalam kategori kekerasan seksual dan belum diatur di dalam undang-undang lain. Dalam KUHP, perkosaan sebagai bentuk kekerasan seksual didefinisikan dengan penetrasi penis ke vagina dan mengeluarkan sperma. Dan perkosaan yang diakui hanya antara laki-laki terhadap perempuan.
Sementara Komnas Perempuan mengkaji, perkosaan tidak terbatas penetrasi pada vagina, melainkan juga pada anus dan mulut. Penetrasi pun tidak hanya dengan penis, bisa juga menggunakan alat bantu seks, buah-buahan, atau jemari.
RUU PKS juga berusaha merekonstruksi ‘korban’, tercantum dalam pasal 1 ayat 5, bahwa korban adalah setiap orang yang mengalami peristiwa kekerasan seksual. Tertulis dalam studi American Journal of Public Health terbitan tahun 2014, dalam beberapa kasus, lelaki menjadi korban kekerasan seksual sama seringnya seperti perempuan.
Dari data yang diterima, 46 persen mengaku pelaku adalah perempuan sementara 76 persen lainnya diidentifikasi sesama jenis. Hal ini menunjukkan bahwa gender tertentu tidak bisa dijustifikasi hanya sebagai korban atau hanya sebagai pelaku. Semua orang bisa menjadi pelaku atau korban.
Rekonstruksi makna kekerasan seksual ini penting untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan seksual, bahwa kekerasan seksual tidak selalu menggunakan alat kelamin, tidak melulu berupa pelecehan fisik, dan tidak memandang gender.
Menyikapi Stigmatisasi
Pada pasal-pasal lain RUU PKS, dijelaskan pula bentuk-bentuk kekerasan seksual yang meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, penyiksaan seksual, pemaksaan pernikahan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual. Masing-masing poin terdapat penjelasan tersendiri di dalam draft RUU.
Kategori kekerasan seksual inilah yang banyak dituding melegalkan zina, LGBT, dan aborsi. Namun, tudingan tersebut sama sekali tidak terdapat dalam draft RUU PKS. Rancangan undang-undang ini menentang aborsi yang dilakukan secara paksa dan tanpa persetujuan yang bersangkutan, begitu pula dengan perkawinan paksa dan kekerasan seksual lainnya.
Jerat ‘paksaan dan tanpa persetujuan’ ini tidak serta merta membuat praktik aborsi menjadi legal lalu orang-orang tak perlu lagi khawatir hamil saat berhubungan seksual—zina, karena aborsi tanpa paksaan sudah dibebaskan RUU PKS.
Nyatanya, tidak begitu! Pasal 75 UU 36/2009 tentang Kesehatan memperbolehkan aborsi apabila terdapat indikasi kedaruratan medis serta kehamilan pada korban perkosaan. Menurut pasal ini, aborsi diperkenankan apabila membahayakan ibu dan janin serta janin tersebut benar hasil pemerkosaan. Sayangnya, undang-undang tersebut tidak membahas pemaksaan praktik aborsi. Untuk itu, RUU hadir untuk menyempurnakannya.
Begitu pula dengan tudingan-tudingan lain. Perzinaan dan pelacuran sudah diatur dalam pasal-pasal KUHP, RUU PKS ditujukan untuk melindungi siapapun yang berada dalam lingkup prostitusi paksa—dimana sebelumnya tidak ada penegasan dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Alih-alih terdapat pasal-pasal yang meresahkan, RUU PKS justru berusaha mengedukasi masyarakat tentang consent. Seseorang tidak boleh bertindak tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan tidak boleh melakukan paksaan, terutama menyangkut tubuh dan fungsi reproduksi seseorang. Setiap orang berhak untuk memilih apa yang menjadi pilihan untuk tubuhnya, tetapi tidak untuk tubuh orang lain.
Pernyataan bahwa RUU ini lahir dari para feminis radikal dan liberal pun tidak dapat dibuktikan secara riil. Sementara terkait asas lex posteriori derogat legi priori, RUU PKS tidak lahir untuk menggantikan undang-undang lama, tetapi untuk menyempurnakan undang-undang yang dirasa masih kurang berpihak kepada korban. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Komnas Perempuan bahwa RUU ini adalah lex specialist alias aturan khusus dari KUHP.
Urgensi RUU PKS sebagai Regulasi
Sedikitnya ada tiga urgensi yang mendorong RUU PKS segera disahkan sebagai regulasi.
Pertama, maraknya kasus kekerasan seksual. Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan yang terbit di kuartal pertama 2020 mencatat bahwa kasus kekerasan seksual sepanjang 2019 mencapai angka 432.471 kasus. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH Apik) pun mencatat 97 kasus terjadi dalam rentang Maret-April 2020 dan kemungkinan terus meningkat selama pandemi dengan berbasis online.
Kasus-kasus kekerasan seksual pun kerap didominasi oleh incest. Incest sendiri merupakan kasus kekerasan seksual di dalam rumah, dimana pelaku masih memiliki hubungan darah dengan korban.
Kedua, kebanyakan korban kekerasan seksual adalah anak perempuan. Ini menunjukkan bahwa sejak kecil perempuan tidak berada dalam ruang aman bahkan dari orang terdekat sekalipun.
Ketiga, dibutuhkan payung hukum untuk melindungi korban dan saksi. Permasalahan utama kasus kekerasan seksual adalah korban yang tidak mendapat perlindungan untuk bersuara serta saksi kunci yang kerap mendapat ancaman untuk tetap bungkam.
RUU PKS tidak hanya melindungi korban, melainkan pula keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian selama proses hukum. Dan tentu saja, RUU ini menekankan penghapusan kekerasan seksual.
Penghapusan kekerasan seksual dalam RUU PKS ini mencakup segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, menindak pelaku, dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan karena pelaku diberikan rehabilitasi sesuai pasal 88 ayat 3.
Penting bagi kita memutus budaya mendengar tanpa membaca dan melihat tanpa meraba, agar tidak buru-buru menilai buruk sesuatu. Miskonsepsi ini menyadarkan kita bahwa kampanye-kampanye yang konsisten dilakukan The Body Shop Indonesia, masih dibutuhkan agar RUU PKS disahkan dengan segera.