Tasikmalaya – Jamaah Ahmadiyah bersama Forum Bhinneka Tunggal Ika Tasikmalaya menyelenggarakan Diskusi Publik “Politik dan Ancaman Intoleransi”, bertempat di Balai Pertemuan Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Minggu (10/02/2019)
Politik identitas sering sekali digunakan dalam kontestasi politik elektoral beberapa tahun terakhir, dan berpotensi akan semakin massif jika tak ditangani sejak dini. Politisasi agama maupun identitas etnik harus diperangi bersama demi menjaga kekayaan keberagaman yang selama ini dimiliki Indonesia. Menjelang pesta demokrasi d Iindonesia, ruang publik sudah dipenuhi oleh
kebencian, caci maki yang berhubungan erat dengan rasisme, perbedaan agama,dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, seluruh elemen bangsa diminta
agar terus menjaga kekayaan keberagaman.
Ketua GP Ansor Jawa Barat, Deni Ahmad Haidar dalam paparannya menyampaikan, puncak politik tertinggi di Indonesia adalah terbentuknya NKRI.
“Indonesia harus dipelihara dengan baik”, kata Deni.
Menurutnya, Indonesia kini dibagi menjadi dua, yakni dunia nyata dan dunia maya.
“Keributan dalam kontestasi politik ujian bagi kita dan PR kita untuk semakin memperkokoh NKRI. Kontestasi politik harus dihadapi dengan riang gembira, lebih rasional”, ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana mengajak, kita harus mencapai standar tertinggi terhadap kecintaan dan kesetiaan kita terhadap NKRI.
“Sebuah keharusan untuk mencintai bangsanya sendiri. Seorang Muslim sejati mana mungkin akan mengkhianati tanah airnya”, tuturnya
Yendra mengungkapkan, Ahmadiyah secara organisasi tidak berpolitik praktis, namun dalam hal pemilu Ahmadiyah tidak mengenal sistem golput.
“Ahmadiyah tetap setia pada demokrasi dan pemerintahan. Marilah jadi warga negara yang taat hukum, dan mari sukseskan pemilu 2019 dengan tidak golput”, tandasnya
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakir menerangkan tentang faktor munculnya intoleransi, yaitu adanya perasaan terancam mengenai isu orang lain, fanatisme keagamaan, dan faktor media sosial.
“Daerah-daerah yang secara historis berbasis ingatan Islam politik mudah sekali terpapar berita hoax, mimpi negara Islam, politik digunakan sebagai kepentingan mereka. Kita harus melakukan politik untuk menangkal itu semua. Golput bukan solusi, partisipasi politik itu penting”, jelasnya.
Ketua PERADI Tasikmalaya, Andi Ibnu Hadi mempertanyakan letak fatwa MUI ada dimana? Namun keadaannya sangat sentral, dan kadang fatwa-fatwanya menjadi ancaman kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Seperti fatwa sesat terhadap Wahidiyah dan Ahmadiyah.
“Fatwa MUI menjadi sangat sentral bahkan mengesampingkan aturan tertinggi UU. Peran dan fungsi partai politik, parpol seharusnya memberikan pendidikan politik sehingga masyarakat menjadi terbuka. Parpol seharusnya mensosialisasikan mengenai ideologi bangsa”, katanya.
Ketua Forum Bhinneka Tunggal Ika Tasikmalaya, Asep Rijal, berpendapat, intoleransi difasilitasi oleh pemerintah daerah, fatwa MUI dan kebijakan-kebijakan politik yang berpihak krpada berbagai kelompok.
“Wakil rakyat seharusnya menjadi garda terdepan untuk dapat berdiskusi, ruang-ruang kebersamaan itu harus tetap terjaga. Satu bangsa, satu bahasa, tapi tidak satu agama”, tuturnya.
Pembicara terakhir, Kapolres Tasikmalaya yang diwakili oleh Kasat Binmas AKP Ucu Juhana meminta masyarakat dan kepolisian harus adanya simbiosis mutalisme, harus mengayomi, harus melayani, harus membantu.
“Polisi hadir kepada masyarakat, menciptakan kenyamanan”, ungkapnya.