Di salah satu sudut Kampung Cimaung Kidul, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, terdapat pasangan lansia. Harun Pria (70), berjuang merajut asa bersama pasangan hidupnya Warmini (70) untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Mereka berdua bertahan hidup dengan menawarkan jasa pembuatan dan menjual kandang ayam. Pekerjaan yang tidak terpikirkan oleh orang-orang.
Harun, lelaki paruh baya itu, sudah tak lagi perkasa. Raut wajahnya tampak keriput. Sorot matanya sudah tidak tajam. Meski tidak seperkasa dahulu, dia tidak berputus asa dan terus bersemangat untuk meneruskan hidup bersama sang istri Warmini.
Proses pembuatan kandang ayam yang dibuatnya membutuhkan waktu seharian itu pun dibantu bersama istrinya. Mereka membagi tugas satu sama lain. Harun menebang pohon bambu, warmini mempersiapkan bahan lainnya yang dibutuhkan untuk proses pembuatan kandang ayam.
Selain itu juga, yang menghambat pergerakanya dalam membuat kandang ayam adalah penglihatanya yang bisa dikatakan kurang baik yang sudah lama Harun derita.
“Beginilah kak, kalau saya pribadi untuk membuat kandang ayam terkadang suka minta bambunya ke tetangga yang punya pohon bambu. Itu pun terkadang suka dikasih atau engga, kalau engga biasanya suka saya beli,” ucap Harun saat diwawancarai.
Dengan profesi sebagai penjual kandang ayam, ia memakai batik sebagai pakaiannya, kupluk yang ia di atas kepala ini menjadi sebuah ciri khas Harun saat berjualan. Ia tampak terlihat terus semangat dan selalu bersyukur tiap harinya.
Jerih payah yang dilakukan pasangan lansia ini sungguh luar biasa perjuanganya, meski kegetiran menghinggapinya. Dulu Harun dan Warmini memiliki seorang anak laki-laki. Namun, putranya menemui ajalnya pada usia 10 tahun. Sampai sekarang mereka hidup hanya satu atap berdua menjalani hidup dengan penuh bahagia. dikala berjualan kandang ayang yang sepi pembeli.
Inilah jalan hidup Harun dan Istrinya, yang harus terus berusaha untuk menyambung asa. Tidak hanya menjual kandang ayam, Harun terkadang membuat kerajinan untuk menambah pundi penghasilannya. Selain itu ia menambahkan aktivitas lainya seperti mencari barang rongsok keliling untuk diserahkan ke pengepul.
Harun memanfaatkan keberadaan kayu-kayu yang yang tidak terpakai untuk dijadikan kerajinan mobil-mobilan. Kerajinan tersebut kemudian ia jual kepada anak-anak di sekitar kampung.
Sulit bagi harun untuk mendapatkan uang serupiah pun, namun ini adalah sebuah jalan hidup yang harus dijalaninya. Sesekali ia dapat bantuan dari masyarakat setempat. Namun sepertinya tidak begitu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya.
Harun dan istrinya hidup di gubuk kecil yang sempit. Beralas bambu dan bangunan seadanya, di sana mereka dapat berteduh dari hujan dan panas. Penuh arti bagi Harun tinggal di gubuk yang kecil itu dibarengi cahaya lampu yang menerangi setiap malamnya.
Panas terik matahari yang menyorot tidak menjadi hambatan bagi pasangan kekasih itu untuk terus melangkah demi rupiah agar bisa bertahan hidup
Kakinya yang gontai, langkah yang pelan, dan tenaga yang dimilikinya sudah tidak mampu untuk berjalan jauh. Sehingga, dalam perjalanannya Harun seringkali berhenti sejenak untuk meredakan lelah.
Suka duka sebagai penjual kandang ayam ia sering rasakan. Suatu hari, ia pernah menjual kandang ayam dengan harga seratus ribu rupiah. Akan tetapi pembelinya masih tetap menawar dengan harga 80 ribu. Harun pun hanya bisa menerima. Di pikirannya, hanya uang itu ingin bisa ia langsung gunakan.
Usaha Harun sering kali tidak berbuah hasil. Langka kaki yang pelan menjadi saksi Harun mengorbankan tenaga yang dimilikinya. Jarak tempuh yang jauh tidak pasti membuat dagangannya laku pada hari itu. Seringkali ia harus terpaksa membawa kembali beratnya kandang ayam itu ke rumahnya.
Kegetiran lain juga pernah Harun alami. Dalam berjualannya, Ia pernah tertipu oleh salah seorang pembelinya. Saat itu ia mendapatkan pesanan dari seseorang. Dengan sepenuh hati ia membuatnya. Namun, setelah diantarkan ketujuannya, pembelinya tampak tidak terlihat sama sekali. Dengan menyimpan kecewa terpaksa Harun dan Warmini harus rela pulang tanpa hasil.
Di sisi lain untuk membuat kandang ayam tersebut, Harun pun harus menebang pohon bambu dikebun bersama istrinya. Bahkan, sang pemilik kebun tak mengizinkan bambunya ditebang. Hali ini karena setiap satu pohon bambu yang dia tebang harus dibayar sebesar 50 ribu rupiah. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi Harun dan istrinya dalam pembuatan kandang ayam yang dibuatnya.
Menuju malam hari, Harun dan Warmini harus melepas lelah dengan tidur hanya dilantai. Dengan beralas tikar, tanpa selimut, bahkan bantal mereka terlelap bersama angin malam.
Terkadang Harun harus memikul kandang ayam yang ia jual bersama istrinya apabila untuk diantarkan ke pembeli yang telah menunggunya. Pagi hari sekali Harun dan istrinya suka menunggu mobil pick up yang searah dengan tujuanya, karena dengan melakukan hal seperti itu dapat meringankan beban mereka untuk mengantarkan kandang ayam tersebut.
Dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya seperti makan, Harun dan Warmini harus menghutang ke warung dahulu untuk dapat mengobati rasa laparnya.
“Terkadang saya juga kak, untuk makan sendiri apabila makanan sudah habis dan tidak punya uang, suka menghutang ke warung terlebih dahulu” ucap pria tua sambil tersenyum pilu.
Ikan asin dan sambal udah menjadi menu ciri khas bagi Harun untuk makan setiap harinya. Ditambah dengan nasi yang tersisa membuatnya penuh bersyukur untuk mengganjal perutnya.
Saat mengucapkan itu, air mata terlihat mengalir dikulit pipinya yang mulai mengendur. Harun terlihat rapuh, tetapi dia tetap mampu bersyukur atas nikmat yang telah diberikan tuhan kepadanya.
Penulis : Ropik Subagja