Penetapan 22 Desember Sebagai Peringatan Hari Ibu, Sesuaikah Dengan Fakta Sejarah?

- Penulis

Sabtu, 24 Desember 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi: Freepik.com

i

Ilustrasi: Freepik.com

Gentrapriangan.com – 22 Desember, adalah hari yang bersejarah bagi perempuan Indonesia karena telah ditetapkan sebagai Peringatan Mother’s Day atau Hari Ibu Nasional. Hari di mana kaum perempuan Indonesia bergerak membentuk sebuah forum bersama untuk memperjuangkan haknya di bawah kekuasaan kolonial Belanda saat masa pra kemerdekaan. Pada tahun ini, Peringatan Hari Ibu jatuh di hari Kamis (22/12/2022). Namun apakah 22 Desember pantas dirayakan sebagai Peringatan Hari Ibu Nasional?

Melansir Tirto.id, Peringatan Hari Ibu di Nusantara sudah diterapkan di era pemerintahan Presiden Soekarno. Tetapi, sejarah tanggal 22 Desember yang akhirnya ditetapkan menjadi Peringatan Hari Ibu bermula jauh sebelumnya.

Awal Kemunculan dan Bangkitnya Organisasi Perempuan

Dikutip geotimes.id, Tahun 1890-1930 merupakan periode kebangkitan nasionalisme di Indonesia. Pada momen seperti inilah banyak bermunculan tokoh-tokoh nasional yang mulai memberikan perlawanan menentang pemerintahan Belanda seperti Rasuna Said, Kartini, Tirto Adhi Suryo, Tan Malaka, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Siti Wardiah (istri KH Ahmad Dahlan), Sri Wulandani Mangunsarkoro, Rohana Kudus, Nyi Ageng Serang, Cut Mutia, dan Ki Hajar Dewantara.

Organisasi-organisasi pun mulai dibentuk seperti Budi Utomo pada tahun 1908, dan Serikat Islam pada 1912 (sebelumnya bernama Serikat Dagang Indonesia). Kehadiran organisasi-organisasi tersebut memicu lahirnya organisasi perempuan seperti Putri Mardika atas bentukan Budi Utomo (1912), yang kemudian mempelopori berdirinya organisasi perempuan lainnya seperti Sekola Kautamaan Istri (didirikan oleh Dewi Sartika di Tasikmalaya pada 1913), Keradjinan Amal Setia (didirikan oleh Rohana Kudus di Bukittinggi pada 1914) Wanito Hadi (Jepara, 1915), Pawijatan Wanito (Magelang, 1915), Poerborini (Tegal, 1917), Pertjintaan Ibu Kepada Anak Temoroen/PIKAT (didirikan oleh Maria Walanda Maramis di Minahasa pada 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Gorontalische Mohamedaanshe Vrouwenbeweging (Gorontalo, 1920), Wanodjo Oetomo (Jogjakarta, 1920), dan lain-lain.

Periode awal kemunculan organisasi-organisasi perempuan ini lebih mendahulukan isu “emansipasi”, isu yang berkembang di dunia pada abad ke 17-18. Adapun isu utama yang diangkat oleh organisasi perempuan pada masa ini adalah kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, menyatakan pendapat di muka umum, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, memperoleh pengetahuan dan keahlian lainnya di luar rumah dan lingkungan adat.

Baca Juga :  Mengenal Istilah Magnitudo Pada Peristiwa Gempa Bumi

Kongres Perempuan Indonesia I

Banyaknya hambatan dalam perjuangan perempuan memang disadari oleh para organisasi-organisasi perempuan ini. Tetapi, semangat nasionalisme untuk mengangkat derajat perempuan dari kebodohan secara adat dan intelektual inilah yang akhirnya membawa mereka pada pertemuan di Yogyakarta tahun 1928 untuk menggelar Kongres Perempuan demi menyatukan visi dan misi secara ekonomi dan politik.

Demi memajukan dan mengangkat derajat perempuan Indonesia, berbagai wakil dari organisasi perempuan ini pertama kali mengadakan pertemuan pada 22 Agustus 1928 di Yogyakarta. Pertemuan ini membangun konsep gabungan berbagai organisasi perempuan kedaerahan dalam sebuah payung organisasi.

Dalam pertemuan ini menghasilkan lahirnya sebuah organisasi bernama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Ny. Sukanto terpilih sebagai ketua PPI dan berencana akan melaksanakan Kongres Perempuan se-Indonesia pada 22 Desember 1928 di Jakarta dengan menunjuk Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, dan Sitti Sundari sebagai panitia kongres.

Akhirnya, Kongres Perempuan I Indonesia diselenggarakan pada 22-25 Desember 1928 di Djoyodipuran, Yogyakarta. Pada kongres ini turut dihadiri perwakilan 30 organisasi perempuan, 21 perwakilan dari organisasi laki-laki (di antaranya Budi Oetomo dan PNI), juga wakil dari pemerintah dan pers.

Dari forum besar tersebut menghasilkan poin-poin isu perjuangan perempuan Indonesia seperti pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, hak perempuan dalam rumah tangga, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak di bawah umur, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial.

Kongres Perempuan Indonesia I inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Hari Ibu di Indonesia. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional.

Baca Juga :  Pilkades Serentak Garut 2023 Mulai Disosialisasikan

Hari Ibu atau Hari Pergerakan Perempuan Indonesia?

Setelah mengetahui asal usul lahirnya Peringatan Hari Ibu Nasional, kita menyimpulkan bahwa begitu besarnya perjuangan perempuan di masa kolonial untuk maju mengambil peran, baik secara ekonomi dan politik. Kaum perempuan di masa itu memiliki kesadararan perjuangan dan mengorganisir diri ke dalam wadah-wadah organisasi perempuan.

Namun sayangnya, setelah Kongres Perempuan Indonesia I, terutama di masa Orde Baru hingga sekarang, Peringatan Hari Ibu mengalami pergeseran makna. Peringatan Hari Ibu dilakukan hanya sebagai bentuk kasih sayang kepada ibu secara lahiriah.

Hari Ibu menjadi kental akan glorifikasi pengorbanan seorang Ibu kepada anaknya. Hal ini menjadi tidak adil, karena sejarah Hari Ibu merupakan perjuangan dan pengorbanan semua perempuan, dan perempuan tidak hanya berkorban dengan menjelma sebagai sosok Ibu. Perempuan bisa berkorban dalam banyak hal.

Perempuan yang memilih berkarir berjuang untuk dirinya sendiri, perempuan yang menjadi guru berjuang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, perempuan yang menjadi pahlawan nasional mempertaruhkan hidupnya demi bangsa dan negara.

22 Desember sepantasnya diperingati sebagai Hari Pergerakan Perempuan Indonesia, bukan Hari Ibu. Diksi ‘Ibu’ hanya merujuk pada perempuan dewasa yang sudah bersuami, telah melahirkan seseorang, atau sudah memiliki keluarga. Sejatinya, pergerakan perempuan melibatkan semua elemen perempuan dari berbagai usia dan profesi.

Glorifikasi Hari Ibu merupakan bentuk ketidakadilan. Alasannya adalah peringatan Hari Ibu terbukti tidak sesuai dengan fakta sejarah. Di sisi lain, peringatan Hari Ibu juga membatasi perempuan mana yang perjuangannya harus diperingati atau diapresiasi.

Selamat Hari Pergerakan Perempuan Indonesia !

(Tulisan ini terinspirasi dari sebuah postingan di akun Instagram @wavevoxo)

Berita Terkait

Pelatihan Pembuatan Sabun Cuci Piring, Mahasiswa KKN Kelompok 28 Uninus
Akses Jalan Singaparna Menuju Cigalontang Putus Akibat Banjir
Citimall Garut Perkenalkan Tenant Nasional Baru, KKV Siap Manjakan Pengunjung
Siswi SMK Maarif NU Bandung Raih Juara 2 Deklamasi Puisi Bahasa Prancis
Diusung Santri dan Jaringan Masyarakat Sipil, Andi Ibnu Hadi Mantap Maju Pilwalkot Tasikmalaya
Terinspirasi Perjuangan Kartini, Tsoht Rilis Single Terbaru
Masa Akhir Tahapan Pemilu 2024, Panwascam Cibiuk Gelar Press Release Hasil Kerja Pengawasan
Cek Kelayakan Kendaraan Dilakukan Petugas Antisipasi Kecelakaan
Berita ini 30 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 27 Agustus 2024 - 21:18 WIB

Pelatihan Pembuatan Sabun Cuci Piring, Mahasiswa KKN Kelompok 28 Uninus

Kamis, 13 Juni 2024 - 01:42 WIB

Akses Jalan Singaparna Menuju Cigalontang Putus Akibat Banjir

Jumat, 7 Juni 2024 - 16:39 WIB

Citimall Garut Perkenalkan Tenant Nasional Baru, KKV Siap Manjakan Pengunjung

Jumat, 3 Mei 2024 - 18:21 WIB

Siswi SMK Maarif NU Bandung Raih Juara 2 Deklamasi Puisi Bahasa Prancis

Minggu, 21 April 2024 - 16:40 WIB

Terinspirasi Perjuangan Kartini, Tsoht Rilis Single Terbaru

Berita Terbaru

Tugu Tugu di Kota Tasikmalaya (Foto: Istimewa)

Cek Fakta

Menelusuri Jejak Sejarah Lewat Tugu Ikonik Tasikmalaya

Minggu, 7 Jul 2024 - 10:17 WIB