Dalam dekade terakhir kasus penistaan agama banyak terjadi di negara kita ini. Beberapa diantaranya menimbulkan gerakan massa yang berjumlah besar hanya ingin si penista tersebut dihukum. Penista menurut KKBI ialah menganggap nista atau mencela dan penista ialah orang yang mencela.
Baru-baru ini, pasal kontroversi ini menjerat seorang pendakwah yang “katanya” menistakan nabi Muhammad dalam salah satu ceramahnya yang beredar di media sosial. Banyak penggalan-penggalan ceramahnya yang dipotong dan menimbulkan salah tafsir kepda orang banyak. Walaupun pendakwah ini sudah mengklarifikasi dan meminta maaf, pernyataan itu tak menghalangi sejumlah massa untuk turun aksi guna menuntut keadilan hukum yang mengarah ke persekusi.
Beberapa agama dan akademisi berbondong bondong menguji materil pasal ini. Gus Dur juga bersikap soal pasal penistaan agama. Beliau pernah mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bersama Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Maman Imanul Haq. Namun, permohonannya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin Mahfud MD.
Gus Dur menilai UU itu tidak sesuai dengan Pancasila dan cenderung disalahfungsikan sebagai senjata politik. Selain dianggap tidak perlu karena mengganggu kebebasan berpendapat, UU ini juga sudah banyak memakan korban. (Sumber tirto.id)
Dalam Pasal 156(a) berbunyi, “menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun.”
Dalam isi pasal diatas, tidak mungkin atau kecil kemungkinan seorang pendakwah menista agaman/Tuhan/nabinya sendiri yang tentu saja beliau hormati dan dijadikan teladan, hal itu sangat tidak logis. Adapun permasalahannya adalah hanya di tafsir dan sudut pandang seseorang melihat ceramah tersebut, atau pemahaman ilmu yang kurang mendukung menjadikan pernyataan itu sebagai penghinaan.
Dalam pasal penodaan agama ini, yang dikhawatirkan beberapa kalangan yaitu pasal ini dijadikan alat untuk seseorang melaporkan atas dasar tidak suka, beda golongan atau dendam dengan dicarikan potongan ceramah yang bisa dimasukkan dalam pasal tersebut. Marzena Romanowska pernah menuliskan fenomena ini dalam tesisnya yang berjudul Religious Offences as a Political Tool. Ia menyatakan bahwa agama kerap dijadikan alat politik, selama tidak ada batasan yang jelas mengenai kebebasan berpendapat dan pelanggaran terhadap agama.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Setara Institute, Amnesty International serta penelusuran Tirto.id, dapat dilihat bahwa tren kasus penistaan agama mulai meningkat pada 2003. Pada periode ini, ditemukan 3 kasus yang terjadi. Kemudian, dari 2004 hingga 2008, terdapat 19 kasus penistaan agama dengan jumlah kasus paling banyak terjadi pada 2006, yakni 7 kasus. Pada 2009, tren kasus penodaan agama kembali tinggi. Pada 2010, kasus penistaan agama meningkat, ada 10 kasus yang tercatat terjadi pada periode tersebut.
Tahun selanjutnya, kasus penistaan agama yang terjadi sebanyak 3 kasus. Jumlah ini meningkat hingga mencapai 14 kasu pada 2012, 10 kasus pada 2013 dan 6 kasus pada 2014. Pada masa pemerintahan Jokowi, kasus penistaan agama paling banyak dilakukan pada 2016. Pada periode kemarin, sebanyak 14 kasus yang terjadi.
Melihat trennya, kasus penistaan agama terlihat erat kaitannya dengan tahun politik di Indonesia. Kasus ini mulai meningkat sejak pemilihan Presiden secara langsung digelar pertama kali di Indonesia, yaitu pada 2004. Pada masa transisi pemerintahan pun kasus penistaan agama kembali meningkat. Pada 2016 misalnya menjerat salah satu calon Gubernur DKI yang menimbulkan efek aksi bela sesuatu sampai hari ini merambah ke kota-kota sekitaran Ibu Kota seperti Bogor yang sudah melakukan aksi bela Islam dan aksi bela nabi yang akan dilakukan beberapa hari yang akan datang.
Dalam bangsa kita ini, kemajemukan adalah anugerah bagi negara Indonesia, tetapi bisa menjadi api dalam sekam yang rentan diadu domba ketika sudah melempar isu sara dengan latar belakang hawa nafsu politik, dendam, fitnah terhadap individu atau kelompok agama/etnis tertentu.
Sebagai manusia yang merasakan agama dengan dakwah yang santun dan damai serta sebagai warga yang berbangsa dan bernegara, kita patut menjaga ketentraman dan perdamaian di negara kita. Jangan sampai kita dianggap sebagai orang yang membela agama namun tindakan kita tidak sama sekali mencerminkan ajaran agama dan tak sadar ingin diadu domba oleh orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi.
M. Hafiz Azami (Koordinator Gusdurian Bogor)