Nasional – Majelis Ulama Indonesia (MUI), Manka, ECONUSA, Ummah For Earth bersama-sama dengan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia resmi menegeluarkan fatwa MUI Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.
Hukum ini berkaitan dengan segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan alam seperti deforestasi, pembakaran hutan dan tindakan berdampak pada krisis iklim adalah haram.
“Deforestasi yang tidak terkendali dan pembakaran hutan yang merusak ekosistem alam yang menyebabkan pelepasan besar-besaran gas rumah kaca, serta mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap dan menyimpan karbon juga haram,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda.
Miftah mengatakan, dalam beberapa dekade terakhir, banyak fenomena alam yang mengancam bumi dan keberlangsungan makhluk yang mendiaminya, termasuk manusia. Beberapa fenomena alam tersebut di antaranya badai tropis, kebakaran hebat, kekeringan yang menyebabkan musim tanam bergeser, mencairnya es di kutub utara, meningkatnya air laut sehingga menyebabkan banyak daratan tenggelam.
“Di Demak banyak desa yang sudah menghilang, di Jakarta sudah beberapa kali rob, di Kuala Enok di Indragiri Hilir banyak perkebunan kelapa yang sudah tenggelam padahal menjadi andalan,” ujarnya.
Semua hal tersebut, kata dia, merupakan akibat dari perubahan iklim. Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, MUI menerbitkan fatwa tentang pengendalian perubahan iklim agar bangsa Indonesia bisa melakukan mitigasi dan beradaptasi.
Ketua Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo, menambahkan fatwa tersebut bertujuan mengubah perilaku umat. “Kita tahu bahwa perubahan iklim ini terjadi akibat perilaku manusia yang ekstraktif dalam kehidupan sehari-hari dan menggunakan bahan bakar fosil,” tutur dia.
Dalam fatwa ini, MUI meminta semua pihak wajib turut berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok, serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan.
MUI juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, pengusaha, tokoh agama, masyarakat luas, serta legislatif. Salah satunya agar melakukan percepatan dalam pembentukan undang-undang yang memiliki hubungan dengan perubahan iklim dengan memuat prinsip-prinsip dan asas keadilan iklim.
Direktur Perkumpulan Manka, Juliarta Bramansa Ottay, mengatakan pengajuan tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan dari para organisasi pengusul. Kekhawatiran ini disebabkan karena belum masuknya isu perubahan iklim di semua bidang, meski isu tersebut amatlah penting.
“Fatwa ini adalah sebuah kemenangan bersama bahwa isu perubahan iklim sudah ditarik sebagai hal dasar untuk norma bersama, bahkan ditarik sebagai sebuah fatwa oleh MUI,” katanya, seperti dikutip dari Eco Nusa.
Dengan kolaborasi dari semua pihak, Juliarta berharap bahwa nantinya perubahan iklim tidak membawa dampak yang berlebihan sehingga masyarakat bisa hidup dengan nyaman. “Terutama untuk masyarakat kecil yang paling rentan terhadap perubahan iklim,” ujarnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agus Rusly, menyambut baik fatwa tersebut. Menurut dia, ini bisa menjadi panduan dan catatan bagi pemerintah. “Tidak hanya bagi KLHK, tapi juga kementerian dan lembaga yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup,” tuturnya.