Ciamis – Tidak banyak orang muda yang tahu, dahulu, sebelum ada mesin penggilingan padi, orang tua kita menggunakan alu sebagai alat penumbuk padi yang dihentakan pada lisung. Tumbukan alu itu kemudian memisahkan gabah padi dan beras.
Di kabupaten Ciamis, Jawa Barat, penggunaan alu dan lisung tidak hanya sebagai alat penumbuk semata. Lebih dari itu hentakan alu pada lisung menjadi alunan irama instrumental yang dinamakan kesenian Gondang Buhun.
Kesenian ini lebih dari sekadar musik pengiring, ia adalah denyut kehidupan, doa syukur, dan warisan leluhur yang terus digemakan hingga kini.
Berbeda dengan gamelan atau angklung, Gondang Buhun tak menggunakan instrumen metal. Alat musik utamanya adalah lisung dan alu yang dimainkan oleh para perempuan.
Di tangan para perempuan yang terampil itu, lesung dan alu bukan lagi sekadar peralatan pertanian, melainkan alat musik yang menghasilkan irama unik dan syahdu.
Suara hentakan alu pada lisung bak irama kekompakan, diselingi dentingan kentung dan gong yang menambah kedalaman bunyi.
Iringan musik ini semakin merdu dengan lantunan kakawihan (syair) yang dinyanyikan bersama oleh para pemain.
Syair-sair kakawihan ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari, panen padi, pujian kepada Dewi Sri (Dewi Padi), hingga ajaran moral luhur.
Secara historis, Gondang Buhun konon berasal dari abad ke-6, warisan Ki Ajar Sukaresi, seorang pandita dari Kerajaan Galuh. Kesenian ini tak sekadar hiburan, melainkan ritual sakral yang berhubungan dengan kepercayaan Sunda Wiwitan sebelum masuknya agama Hindu dan Islam. Ritual ini bertujuan untuk menghormati Dewi Sri dan memohon berkah panen yang melimpah.
Seiring perjalanan waktu, Gondang Buhun tidak lagi hanya dimainkan saat upacara ritual, tetapi juga ditampilkan dalam berbagai acara adat dan festival budaya.
Kesenian ini menjadi simbol identitas masyarakat Ciamis dan berperan penting dalam menjaga kelestarian warisan budaya leluhur.
Pesona yang Melintasi Generasi
Menyaksikan pertunjukan Gondang Buhun bukan hanya menikmati keindahan musiknya, tetapi juga merasakan irama kehidupan masyarakat Ciamis.
Para pemain melantunkan kakawihan dengan penuh khidmat, gerakan tangan mereka menumbuk alu begitu luwes dan harmonis, seolah sedang berdialog dengan tanah dan alam.
Kesenian ini juga menjadi jembatan penghubung antar generasi. Para sesepuh mengajarkan teknik bermain Gondang Buhun kepada anak muda, memastikan warisan ini tak lekang ditelan zaman.
Tak jarang, di sela-sela latihan, para sesepuh juga menceritakan mitos dan legenda yang terkait dengan Gondang Buhun, memperkaya pemahaman generasi muda tentang akar budaya mereka.
Gondang Buhun adalah lebih dari sekadar kesenian. Ia adalah denyut nadi, doa syukur, dan warisan leluhur yang terus digemakan.
Irama lesung dan alu tak hanya menghibur, tetapi juga mengajak kita menyelami kedalaman budaya Ciamis, memahami falsafah hidup yang terkandung di dalamnya, dan memastikan warisan ini terus lestari untuk dinikmati generasi mendatang.