“Menjadi orang bodoh adalah hak bagi setiap orang.”
Tidak ada aturan yang melarang kita menjadi bodoh di negeri ini. Bahkan dalam sejarah pun belum pernah ada yang dipenjara karena menjadi bodoh. Kecuali kebodohannya memang merugikan orang lain, memfitnah orang lain, atau merampas hak orang lain.
Media sosial adalah tempat di mana kita bisa menggunakan hak kebebasan berpendapat. Termasuk orang bodoh yang saya maksud, mereka bebas menggunakan haknya. Mereka juga tetap dilindungi oleh pasal kebebasaan berpendapat dalam undang-undang kita.
Setiap postingan yang beredar di media sosial, sangat berpotensi berisi kebodohan. Semakin banyak orang yang menggunakan hak bodohnya, maka semakin banyak pula postingan membodohi yang beredar.
Kondisi tersebut semakin diperparah ketika gaya komunikasi pemerintah dalam memberikan informasi kepada masyarakat, cukup dibilang kacau. Gaya komunikasi para pejabat pemerintah dalam menghadapi ancaman virus covid-19, cenderung menyepelekan dan konyol. Pak Menkes Terawan misalnya, berulang kali menyebut covid-19 tak lebih berbahaya daripada flu biasa.
Dari awal saya sudah khawatir dengan isu covid-19 yang ditanggapi santai oleh pemerintah. Mungkin awalnya pemerintah berniat untuk menyelamatkan masyarakat dari kepanikan. Padahal rasa takut adalah hal yang kita butuhkan untuk sekarang, rasa takutlah yang membuat kita waspada dari segala ancaman.
Akan sangat berbahaya ketika masyarakat lebih mempercayai Ningsih Tinampi daripada pihak medis. Sangat memungkinkan juga seseorang mempercayai bahwa nasi kucing bisa menjadi penangkal covid-19.
Orang yang bodoh berhak tidak memberikan peringatan kepada pembacanya, bahwa postingannya dijamin tidak bodoh. Postingan tersebut bisa saja disebarkan orang bodoh lainnya yang percaya dengan postingan tersebut.
Banyaknya orang yang berpendidikan di daftar teman media sosial kita tidak membuat linimasa media sosial kita bersih dari postingan bodoh. Dalam bidangnya, tentu saja mereka tidaklah bodoh, mereka semua ahli dalam bidangnya masing-masing. Tetapi dalam memilah mana informasi yang benar dan mana yang salah, kadang mereka tidak bisa.
Karena pendidikan tidak menjamin kita terhindar dari postingan bodoh, maka bersikap kritis adalah salah satu kunci utama. Kita harus selalu memastikan kalau informasi yang kita bagikan itu adalah informasi yang benar. Jangan terlena oleh informasi yang tidak jelas, hanya karena informasi tersebut memuaskan nafsu dan keinginan kita.
Kemampuan dan kemauan masyarakat untuk menggunakan nalar atas apa yang mereka baca, sepertinya cukup rendah. Mereka biasanya hanya akan membagikan postingan yang sesuai dengan keinginan hatinya, walaupun postingannya mengandung hal bodoh.
Nalar yang sehat akan bisa menjaga seseorang dari kebencian, emosi, prasangka dan egoisme dalam menilai apa yang dia baca. Dengan nalar yang sehat, seharusnya kita bisa lebih selektif dalam memilih tulisan yang akan dikonsumsi.
Bisa saya ambil kesimpulan, bahwa mengatasi maraknya tulisan atau berita palsu adalah persoalan bagaimana pemerintah menyampaikan informasi dan bagaimana masyarakat agar menjadi lebih kritis dalam menggunakan media sosial. Selain dengan penegakan hukum, kita juga perlu mengatasinya dengan meningkatkan nalar kritis kita.
Menjadi bodoh adalah pilihan. Tetapi, orang bijak yang memiliki nalar yang sehat tidak mungkin memilih menjadi bodoh.
Garut, 15 Mei 2020
Hildan Ramdani
*Artikel ini merupakan bagian dari buku “Refleksi Pandemi” yang berisi karya-karya mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Garut angkatan tahun 2019.