K.H. Zainal Musthafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899) meninggal di Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia.
KH. Zainal Musthafa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang.
Sejak tahun 1940, KH. Zainal Musthafa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah.
Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang di turun paksakan dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Setelah perang dunia II KH. Zainal Musthafa bersama ketiga orang temannya yaitu KH. Ruhiyat, Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya, dan baru di bebaskan pada tanggal 10 januari 1942.
Walaupun sudah pernah di tahan, aktivitas perlawanan terhadap penjajahnya tidak pernah suru. Maka pada akhir bulan februari tahun 1942, KH. Zainal Musthafa dan Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dipenjaran di Ciamis.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaa Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zainal Musthafa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi Jepang, yaitu menciptakan lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya.
Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zainal Musthafa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo.
Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.
Pada tanggal 25 Febuari 1944, KH. Zainal Musthofa merencanakan perlawanan terhadap Jepang.
KH. Zainal Musthafa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Persiapan para santri ini terdengar Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zainal Musthafa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zainal Musthafa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari 1944. Dalam kejadian tersebut ada satu korban yang tercatat bernama Nur, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang. Menjelang waktu Salat Ashar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah.
Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah yang dipimpin KH. Zainal Musthafa sangat terkejut setelah
tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba.
Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zainal Musthafa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum pasukan Jepang melawan terlebih dahulu. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak porandakan pasukan Sukamanah.
Peristiwa ini dikenal dengan pemberontakan Singaparna. Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang.
Sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zainal Musthafa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zainal Musthafa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zainal Musthafa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili.
Besarnya pengaruh KH Zainal Musthafa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun. (Fatimah Cindikia)
Disarikan dari berbagai sumber