Garut – Kampung adat pulo secara administratif terletak di sebuah danau kecil bernama Situ Cangkuang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat.
Nama “Pulo” berasal dari sebutan dari masyarakat setempat yang memiliki arti pulau yang berada di tengah-tengah Situ Cangkuang
Sedangkan nama Cangkuang diambil dari nama pohon cangkuang sejenis pandan dengan nama latin (Pandanus furcatus), yaitu pohon cangkuang atau mendong yang banyak tumbuh di daerah ini biasanya dimanfaatkan untuk membuat tikar. Sehingga nama candi ini dinamakan sebagai Candi Cangkuang.
Masyarakat Kampung Adat Pulo merupakan keturunan dari Embah Dalem Arief Muhammad. Ia merupakan seorang senapati dari Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Ia datang bersama pasukan untuk menyerang VOC di Jakarta pada abad ke-17.
Embah Dalem Arief Muhammad adalah salah seorang tokoh penting bagi masyarakat Kampung Adat Pulo. sehingga adat istiadat yang berlaku di kampung adat tersebut sepenuhnya merupakan hasil warisan dan nilai-nilai keislaman yang dilakukan oleh seorang Embah Dalem Arief Muhammad.
Hingga saat ini, wisata Kampung Adat Pulo telah menjadi cagar budaya dan kawasan pariwisata yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut. Sedangkan Candi Cangkuang dikelola oleh Dinas Kepurbakalaan yang berpusat di kota Serang, Provinsi Banten.
Secara keseluruhan kondisi lingkungan Kampung Adat Pulo dapat dikatakan dikelola cukup baik, bentang alamnya yang dikelilingi oleh Situ Cangkuang menjadikan daya tarik tersendiri.
Berikut keunikan yang menjadi daya tarik kampung Pulo.
- Simbol 6 Bangunan Rumah dan 1 Mushola
Kampung Adat Pulo memiliki 7 bangunan pokok. Bangunan pokok ini terdiri dari 6 bangunan rumah dan 1 bangunan mushola.
Adapun jumlah 6 bangunan rumah berjejer saling berhadapan. Masing-masing 3 buah rumah di kiri dan kanan. Dan bangunan mushola berada di pintu depan.
Konon 7 bangunan pokok ini merupakan simbol dari ketujuh anak Eyang Embah Dalem Arief Muhammad. Rumah yang berjumlah 6 simbol dari 6 anak perempuannya. Sedangkan 1 bangunan mushola simbol dari anak laki-laki satu-satunya.
Sosok Eyang Embah Dalem Arif Muhammad menjadi tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Desa Cangkuang. Pada masa itu, Desa Cangkuang sendiri penduduknya telah menganut agama Hindu.
Eyang Embah Dalem Arif Muhammad sendiri asalnya dari kerajaan Mataram di Jawa Timur. Bersama rombongannya Ia datang untuk menyerang VOC di Batavia.
- Bangunan Candi Cangkuang
Penemuan Candi Cangkuang bermula dari 1966, saat tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita melakukan penelusuran berdasarkan laporan Vorderman, yang terbit pada 1893. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa ada sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arief Muhammad di Leles.
Candi Cangkuang merupakan kawasan cagar budaya yang merupakan peninggalan Hindu abad ke-8. Candi Cangkuang menjadi Candi Hindu yang pertama dan satu-satunya Candi Hindu di pelataran tanah Sunda.
Sedangkan fungsi Candi Cangkuang adalah sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa dan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu lainnya. Penelitian itu dilanjutkan pada 1967 dan 1968.
Pada awalnya, hanya terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan bangunan candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan. Di dekat kuburan Arief Muhammad, peneliti menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi yang berseraka
Saat ini candi cangkuan sudah berdiri kokoh dan rapih tepat berada di samping makam dari leluhur kampung adat pulo yaitu Embah Daleum Arief Muhammad.
- Wahana Menyeberangi Situ Cangkuang Dengan Mengunakan Rakit
Untuk sampai di Kampung Adat Pulo, para pengunjung harus menaiki transportasi air yakni rakit. Rakit tersebut dibuat dari bambu yang dikayuh oleh satu orang menggunakan bambu panjang.
Rakit ini digunakan untuk menyeberangi Danau Situ Cangkuang. Dimana kedalaman danau diperkirakan sekitar 1,5 meter.
Setelah itu para pengunjung harus sedikit berjalan kaki untuk menemukan gerbang Kampung Adat Pulo melewati berbagai macam pernak pernik aksesoris yang bisa dijadikan oleh oleh khas Candi Cangkuang.
- Museum Situs Cagar Budaya Candi Cangkuang
Di dalam kompleks Candi Cangkuang juga terdapat sebuah bangunan yang di dalamnya berisi koleksi berupa bukti penyebaran agama Islam yang masih tersimpan rapi.
Bangunan ini dijadikan tanda bahwa adanya penyebaran agama Islam di daerah Sunda. Saat ini masyarakat Kampung Adat Pulo sudah beragama Islam.
Bangunan ini menyimpan koleksi berisi bukti-bukti sejarah, seperti kitab kuno, Al-Qur’an hingga naskah kotbah. Kertasnya terbuat dari kulit kayu saeh dan tinta dari arang yang ditulis oleh Eyang Embah Dalem Arief Muhammad ketika menyebarkan agama Islam.
- Menerapkan Sistem Kekerabatan Matrilineal
Masyarakat Kampung Adat Pulo menerapkan sistem kekerabatan matrilineal. Sistem ini dimaksudkan sebagai yang penerima waris bukanlah anak laki-laki, melainkan anak perempuan.
Di Kampung Adat Pulo yang berhak menguasai rumah adat setempat adalah wanita dan diwariskan pula kepada anak perempuannya. Sedangkan bagi anak laki-laki yang sudah menikah, ia diharuskan keluar dari kampung tersebut dalam waktu 2 minggu.
Hal tersebut disebabkan karena anak laki-laki satu-satunya dari Eyang Embah Dalem Arif Muhammad meninggal dunia ketika hendak disunat
- Tidak Boleh Memelihara atau Beternak Hewan Berkaki Empat
Masyarakat kampung adat pulo tidak diperkenankan beternak hewan besar berkaki empat. Tetapi boleh memakan atau bahkan menyembelihnya.
Alasan tidak diperkenankan beternak hewan besar berkaki empat karena takut hewan tersebut merusak sawah juga atau hasil kebun masyarakat setempat. Hal ini karena pencaharian utama masyarakat Kampung Adat Pulo dalam mencari nafkah adalah dengan bertani dan berkebun.
Selain itu, daerah setempat juga banyak terdapat makam keramat, sehingga ditakutkan hewan-hewan mengotori makam.
- Tidak Boleh Menabuh Gong Besar
Berdasarkan kisah, pernah kejadian ada anak laki-laki satu-satunya Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, juga ditetapkan tradisi tidak boleh menabuh gong besar. Karena pada saat anak laki-laki tersebut disunat, diadakan sebuah pesta besar-besaran. Acara tersebut dimeriahkan dengan arak-arak sisingaan, dengan musik gamelan menggunakan gong besar yang mengiringinya.
Namun, saat arak-arakan berlangsung ada angin badai. Angin yang kuat mendorong anak tersebut. Menyebabkannya terjatuh dari tandu dan menyebabkannya meninggal dunia.
Agar hal tersebut tidak terulang, maka menabuh gong besar merupakan menjadi tidak diperbolehkan, terutama oleh keturunan yang tinggal di Kampung Adat Pulo.