Tasikmalaya – Pelecehan seksual bisa terjadi dimanapun, seperti sekolah, kantor, tempat umum bahkan tempat ibadah. Pelecehan seksual juga bisa terjadi dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan siang, malam, kondisi yang sepi dan gelap, bahkan di tempat yang ramai sekalipun.
Hari ini di Tasikmalaya sedang dihebohkan dengan Kasus Teror Sperma yang dilakukan oleh seorang pemuda di area publik. Artinya pelecehan seksual yang terjadi dilakukan di area terbuka, dimungkinkan disana banyak orang beraktifitas. Peristiwa yang terjadi pada siang hari itu akhirnya viral, karena salah satu korban sempat mengambil foto si pelaku. Foto itu akhirnya di share ke sosial media, dan viral. Bahkan kasus ini sampai menjadi pemberitaan nasional.
Masyarakat resah dan geram, dan berharap aparat kepolisian segera menangkap pelaku kejahatan seksual. 4 hari berselang, aparat kepolisian akhirnya menciduk seorang pemuda yang diduga kuat sebagai pelaku Teror Sperma. Namun aneh, kok bisa-bisanya seseorang dengan berani melakukan pelecehan seksual di area terbuka seperti itu?
Merespon terjadinya kasus pelecehan seksual di Tasikmalaya, Yayasan Batari Hyang sebuah lembaga yang konsen dalam isu kekerasan perempuan di Tasikmalaya, mengadakan Diskusi Terfokus pada hari senin (18/11/2019) di Kantor LAKPESDAM Nahdlatul Ulama Kota Tasikmalaya.
Dalam diskusi itu, hadir puluhan mahasiswi dari berbagai Perguruan Tinggi di Tasikmalaya. Mereka yang datang mempunyai kegelisahan yang sama, bahwa pelecehan seksual di ruang publik sebetulnya banyak terjadi jauh sebelum kasus Teror Sperma ini viral.
Ketua Batari Hyang, Sisca Sukmawati menyampaikan bentuk pelecehan terhadap perempuan sebenarnya sudah banyak terjadi. Meski terkadang perempuan tak menyadari dia sedang menjadi korban, sebaliknya pelaku dalam hal ini laki-laki juga merasa tidak sedang melecehkan seorang perempuan.
“Banyak orang yang tidak sadar kalau sedang melecehkan atau dilecehkan secara seksual. Alhasil, pelecehan semakin banyak terjadi dalam banyak aspek kehidupan. Padahal pembiaran ini akan berdampak destruktif bagi korban maupun pelaku,” katanya.
Sisca melanjutkan, ada banyak contoh pelecehan yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
“Seperti misalnya menyentuh, meraba, mencolek, mencium bagian tubuh privasi seseorang, membuat lelucon bernuansa seksual yang merendahkan tubuh dan diri seseorang baik dalam bentuk lisan llmaupun tulisan. Memberikan isyarat bernuansa seksual misalnya main mata, siulan, main lidah dan bibir, Memberikan komentar yang merendahkan tubuh seseorang secara seksual secara lisan maupun tulisan, Mengirim pesan, gambar, video yang tidak seronoh atau permintaan mengajak untuk berhubungan seks dan lain sebagainya,” katanya.
“Ketidaksadaran praktek pelcehan ini tidak bisa dibiarkan, baik laki-laki ataupun perempuan seyogyanya harus bisa saling meghargai martabat kemanusiaan. Jika ada yang mengalami hal-hal seperti di atas, maka sudah seharusnya segera bertindak, jangan takut untuk melaporkan karena pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang melanggar Hak Asasi Manusia,” lanjutnya
Sementara itu, Sekretaris LAKPESDAM NU Kota Tasikmalaya, Ajat Sudrajat menyampaikan perlunya pemerintah untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan terkait perlindungan terhadap kaum perempuan serta Infrastruktur Berbasis Kesetaraan Gender.
“Banyak kasus perempuan yang menjadi korban pelecehan enggan untuk melapor, sama halnya dengan kasus Teror Sperma ini, ketika sudah viral, baru kemudian korban-korban lain mengakum dan berani bersuara. Banyak faktoe kenapa perempuan enggan melaporkan, bisa karena takut, ketidaktahuan, atau bahkan pembiaran karena menganggap sebuah pelecehan sebagai persoalan sepele,” ungkapnya.
Selain itu, kita juga harus melihat kasus ini dari sudut pandang kebijakan. Sudah sejauhmana pemerintah Kota Tasik memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kaum perempuan, termasuk di ruang-ruang publik?
“Infrastruktur buruk bisa menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya pelcehan seksual. Ruang publik di Kota Tasik dengan penerangan kurang baik, trotoar yang buruk pemeliharaannya, dan kurangnya rambu-rambu jalanan, membuat perempuan lebih merasa tidak aman, khususnya disore dan malam hari,” jelasnya.
Ajat melanjutkan, Kasus Teror Sperma di ruang public ini mengajarkan nilai penting keberadaan infrastruktur lain. Yakni pemasangan CCTV di ruang-ruang publik, terutama di lokasi-lokasi rawan seperti tempat sepi.
“Sering kali laporan kasus pelecehan seksual tidak dapat diselesaikan karena tidak ada saksi mata. Beruntung salah satu korban memberanikan diri memngambil foto pelaku kasus teror sperma ini, bayangkan jika tidak. Nah pemasangan CCTV di ruang public ini bisa dimanfaatkan sebagai cara mencegah terjadinya pelecehan/kekerasan seksual maupun untuk kepentingan penyelidikan jika hal tersebut sudah terjadi,” ujarnya.
Sayangnya, selama ini pemanfaatan CCTV cenderung untuk pemantauan lalu lintas, kecuali di tempat-tempat perbelanjaan yang biasanya digunakan untuk memantau perilaku pengunjung dan aksi kriminalitas.
Masyarakat sangat berharap agar pemerintah mampu menyedikan ruang public yang ramah, nyaman, dan aman bagi warganya. Paling tidak dengan penerapan Pengarusutamaan Gender dan Perlindungan Perempuan dan Anak harus benar-benar menjadi dasar pembangunan Infrastruktur di Kota Tasikmalaya. Dengan harapan, praktek-praktek pelecehan dan kekerasan tidak akan terjadi lagi. (red)