Garut- Politisasi agama merupakan fenomena yang sering kali terjadi di banyak daerah bahkan belahan dunia. Politisasi agama adalah suatu keadaan di mana agama sebagai sebuat alat politik atau menjadi alasan untuk mencapai tujuan politik baik tujuan individu maupun tujuan kelompok.
Sansan Ziaul Haq sebagai Wakil ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PC. NU Garut mengatakan bahwa penggunaan kata agama dalam konteks kata politisasi agama tampak jelas untuk tujuan-tujuan yang memang tidak sesuai teks tersebut.
Sebagai contoh Sansan menjelaskan kontestasi perpolitikan pada masa orde baru. Dia menjelaskan ketika ada sebuah kelompok atau golongan yang melarang suatu umat memilih partai A. Maka dengan menggunakan suatu ayat ia pakai sebagai dasar larangannya.
“Ketika ada kelompok politik tertentu yang melarang kelompok umat islam untuk memilih partai golongan karya, lalu kemudian kelompok politik itu menggunakan salah satu ayat Al-Qur’an yaitu salah satu ayat dari surat Al-Baqarah yang berarti ‘larangan kepada Adam dan Hawa untuk mendekati pohon’ sebagai dasar larangannya, dalam hal ini kelompok politik tersebut melarang umat islam memilih partai golongan karya karena berlambang pohon beringin”, jelasnya kepada gentrapriangan.com, Minggu (21/05/23).
Praktik Politisasi Agama
Di sisi lain juga banyak pihak yang melawan kasus serupa dengan menggunakan ayat sebagai dasarnya. Karena politisasi agama itu membajak ayat atau teks agama tidak sesuai dengan peruntukannya maka jelas ini adalah hal yang sangat negatif dan jelas ada dampaknya.
Ia juga menjelaskan secara sosial budaya politisasi agama itu membius dan mengelabui rakyat yang dalam hal ini adalah sebagai orang awam. Artinya di sini rakyat tidak memiliki literasi yang mendalam tentang politik, agama, dan politisasi agama.
Orang awam jelas tidak dapat membedakan mana ajaran yang benar dan mana yang bajakan. Bahkan mereka akan memahami dan mempercayai ajaran salah yang mereka anggap benar, seakan-akan norma dan ajaran yang harus mereka junjung tinggi tetapi pada nyatanya tidak seperti itu.
Sansan menjelaskan bahwa sekitar tahun 2017, di Indonesia terjadi kekisruhan terkait dugaan penistaan agama. Sejak saat itu politisasi agama sangat kental dan sering kali menjadi bahan pembicaraan. Misalnya narasi penista agama menjadi senjata atau palu untuk menghantam pihak-pihak politik yang tidak sesuai. Seakan-akan jika seorang muslim memilih orang dengan tuduhan sebagai penista agama atau partai politik yang mendukung penista agama, maka tidak termasuk kedalam golongan muslim yang taat. Padahal ajarannya tidak sesederhana itu.
Ia menjabarkan bahwa politisasi agama dapat membutakan rakyat dari konflik yang sebenarnya sedang terjadi atau dapat disebut sebagai penggiringan isu. Ia juga mengatakan bahwa yang harus diperhatikan oleh logika adalah hal yang objektif.
“Seharusnya yang dikedepankan dalam proses kampanye itu adalah sebagai perang ide membahas isu-isu. Tentu yang memang relevan dengan keadaan masyarakat di Indonesia”, ujar Sansan kepada gentrapriangan.com.
Sansan mengatakan bahwa ada banyak sekali isu yang bisa menjadi topik untuk dibahas dan memang relevan, di antaranya masalah ekonomi, pemberantasan korupsi, masalah pendidikan, dan masih banyak lagi isu yang relevan untuk dibahas dan diperdebatkan oleh para calon peminmpin sebagai salah satu media penilaian.
Potensi Politisasi Agama Pemilu 2024
Ia juga menyebutkan bahwa hari ini Indonesia menjelang pesta demokrasi 2024 yang tentu saja di dalamnya ada banyak persaingan. Dari calon yang belakangan muncul itu tidak lagi dari dua kubu yang sering bersih tegang. Jadi potensi terjadinya politisasi agama tidak akan sebesar tahun 2019.
“Antisipasi terhadap kemungkinan potensi terjadinya politisasi agama, ayat, ataupun norma, yang juga menjadi tugas sosial pemuka agama. Yaitu untuk terus bisa menggaungkan sikap yang benar dalam menghadapi pemilu ini. Memberikan literasi yang mendalam mengenai tindakan ini dan apa saja yang menjadi bahaya dan risikonya. Sehingga masyarakat yang awam sekalipun memiliki pemahaman yang sama dengan orang yang memang sudah mengerti dan memahami. Dan memungkinkan untuk politisasi agama tidak terjadi” pungkasnya