Bunyi tepuk tangan memecah keheningan malam. Suara sorak saling bersahutan. Sejumlah orang tampak gembira dan apresiatif setelah pemutaran perdana film ‘Ngawitan Ngariksa Jagat’ usai ditayangkan di Kampung Pasir, Desa Cinta Karya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Selasa (28/11/2023).
Orang-orang yang menyaksikan langsung penayangan film tersebut berasal dari berbagai elemen masyarakat. Akademisi, mahasiswa, aparatur pemerintah, masyarakat adat dan tokoh lainnya bersatu merapatkan barisan. Sepuh, kawula muda dan anak-anak bergabung dalam tempat yang sama untuk menonton.
Ngawitan Ngariksa Jagat merupakan film dokumenter tentang masyarakat Akur Sunda Wiwitan yang berada di Kampung Pasir. Dimana menjadi satu distrik masyarakat adat yang telah desentralisasi dari masyarakat adat Akur yang berpusat di Kuningan, Jawa Barat.
Film ini menggali seluk beluk nilai-nilai spiritualitas dan aktivitas masyarakat adat Sunda Wiwitan dalam menjaga tradisi, menyatukan perbedaan, menghormati keberagaman dan menjaga kebudayaan leluhur agar tetap lestari.
Nonton bareng film itu hanya salah satu rangkaian dari festival “Sajajar Fest” yang dilakukan untuk memperkenalkan kebudayaan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Selain itu terdapat juga pameran foto eksentrik potret keseharian Penghayat Akur Sunda Wiwitan. Sebelumnya pada hari yang sama, terdapat juga diskusi komprehensif antara akademisi, aktivis, dan tokoh masyarakat.
Sajajar Festival merupakan gerakan yang diinisiasi oleh Solidaritas Jaringan Antarumat Beragama dan Kepercayaan (Sajajar) yang memiliki misi untuk menjunjung tinggi nilai toleransi terhadap perbedaan antarumat dan agama khususnya di Kabupaten Garut.
Berdasarkan kajian indeks toleransi yang dilakukan oleh Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) terhadap Sembilan kota di Provinsi Jawa Barat pada Tahun 2021, Kabupaten Garut memiliki indeks toleransi ketiga tertinggi dengan kategori tingkat toleransi yang baik.
Meski demikian, realitas yang ada berkata sebaliknya. Bahkan pemerintah daerah mengatakan intoleransi menjadi permasalahan di Kabupaten Garut. Hal ini juga diperkuat dengan banyaknya kecamatan yang terpapar paham intoleran dan juga radikal. Oleh sebab itu penting untuk menyebarkan pesan toleransi melalui pendekatan yang inovatif.
Koordinator Sajajar, Usama Ahmad Rizal menyatakan, Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah dengan tingkat intoleransinya lumayan tinggi. Melalui kegiatan dan film tersebut, ia mengajak agar semua pihak bisa mengkampanyekan toleransi.
“Film merupakan media kampanye positif yang efektif, dan tentunya film ini diharapkan bukan hanya sekadar tontonan tapi juga tuntutan,” kata Rizal.
Rizal mengungkapkan, di tengah musim politik, agama kerap dipolitisasi. Atas dasar itu, diperlukan langkah serius untuk memastikan narasi damai yang mengandung muatan toleransi beragama jelang pemilu 2024.
“Melalui kegiatan Sajajar Festival dan film tersebut kami ingin mengajak publik agar bersama-sama melawan dan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap intoleransi di tengah musim politik ini, ” pungkasnya.
Siasat Anak Muda Dalam Melestarikan Budaya
Sajajar Festival digerakan oleh inisiatif kolektif orang muda yang bersatu padu dalam melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan. Melalui pendekatan modern mereka berupaya mengenalkan budaya serta tradisi masyarakat adat kepada generasi muda.
Perkembangan teknologi dan modernisasi membuat anak muda menjauh dari kebudayaannya. Sehingga kerap kali banyak anak muda yang menganggap budaya yang diwariskan dari leluhur itu tidak keren dan terkesan kuno. Menyikapi hal itu diperlukan pendekatan yang menyesuaikan dengan tren generasi muda sekarang.
Sahrul Imam (23), penyelenggara kegiatan tersebut sekaligus produser film Ngawitan Ngariksa Jagat mengatakan, andil generasi muda sangat penting dalam upaya merawat dan memperkenalkan kebudayaan dan adat terdekat, seperti keberadaan Masyarakat Adat Sunda Wiwitan di Kabupaten Garut.
“Anak muda sebagai generasi penerus harus berupaya mengambil peran dalam mengenal, menjaga dan melestarikan budaya melalui pendekatan yang lebih mudah diterima oleh generasinya seperti berkarya dengan foto, film dan mendiskusikanya,” kata Sahrul.
Melalui pendekatan modern yang menggabungkan beragam media rupanya memantik rasa antusias bagi kawula muda. Seperti yang dirasakan Huda Rofik Hamzah (20), mahasiswa Universitas Garut yang hadir dari awal sampai akhir kegiatan Festival.
Huda mengungkapkan dengan adanya Festival Sajajar ini menambah sudut pandang terhadap budaya dan ideologi yang tidak tidak hanya diam di satu sudut pandang saja, tetapi menambah perspektif terkait keberagaman bermasyarakat serta beragama yang lebih luas.
“Dengan hadirnya kegiatan positif seperti ini dapat meningkatkan keharmonisan dalam hiruk pikuk bermasyarakat. Bermula dari gerakan-gerakan kecil sehingga menimbulkan keinginan untuk menjadi lebih besar menuju persatuan,” ungkap Huda.
Selain itu, pendekatan lain dilakukan para mahasiswa dari Politeknik Kesejahteraan Sosial (Polteksos) Bandung dengan melakukan pengabdian langsung kepada masyarakat. Salah duanya adalah Hilmi Eryan Hidayat (22) dan Zalfa (21). Mereka merupakan mahasiswa program studi rehabilitasi sosial.
Dalam pengabdiannya, mereka melalukan pendekatan dengan bertugas merehabilitasi terkait keadaan sosial yang ada di masyarakat. Tujuannya, untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), keluarga, dan masyarakat yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Menurut Hilmi, berdasarkan Permensos UUD no 8 tahun 2012, warga adat terpencil termasuk ke dalam 26 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS ). Oleh karena itu sangat perlu untuk melakukan sosialisasi secara langsung apa yang harus menjadi perhatian pemerintah.
“Berdasarkan aturan tersebut kami mengamati apa yang menjadi permasalahan di masyarakat untuk disampaikan atau sebagai perantara dari masyarakat kepada pemerintah, agar dapat melaksanakan program secara tepat,” kata Hilmi.
Meninjau sebagian besar masyarakat adat wiwitan terdapat lansia, program yang saat ini dalam tahap asesmen lanjut adalah posyandu lansia atau poswindu. Program kesehatan yang di dalamnya terdapat kegiatan pengecekan kesehatan, penyuluhan dan penguatan-penguatan dari pemerintah untuk masyarakat lanjut usia.
Sementara itu, Zalfa turut mengungkapkan rasa apresiasi tentang keberadaan anak muda yang masih perhatian terhadap kebudayaan sunda yang kian semakin pudar. Terlebih adanya generasi muda-mudi masyarakat adat (Nonoman) yang dengan bangga mengakui identitasnya.
“’Saya Orang sunda, nih. Saya tetap ingin melestarikan kebudayaan saya sendiri,” ungkap Zalfa.
Zalfa menuturkan, dalam masa-masa pengabdiannya terdapat pemahaman yang sebelumnya tidak seburuk apa yang dibicarakan tentang masyarakat adat wiwitan. Stereotip dan pandangan yang keliru perihal sunda wiwitan sering ia dapati dari orang lain. Berbeda dengan pandangan awam sebelumnya, setelah berbaur langsung dengan masyarakat adat. Pada kenyataannya, ia memahami masyarakat adat sama seperti masyarakat umumnya.
“Jangan menilai semua dari suatu sisi, coba diresapi dan dikenali. Semuanya pasti ada hikmahnya,” tutur Zalfa.
Nonoman Sebagai Generasi Pelestari
Lestarinya tradisi masyarakat adat secara turun temurun tidak terlepas dari regenerasi anak muda yang mau peduli dengan kebudayaannya. Nonoman sebagai muda-mudi penerus masyarakat adat wiwitan di Kabupaten Garut, memikul tugas berat sebagai pelopor kelestarian adat, sebab berhadapan dengan tantangan zaman dan diskriminasi.
Dalam pelestrariannya, hanya di tangan pemuda kepercayaan Sunda Wiwitan yang didalami akan tetap hidup. Beregenerasi secara turun temurun. Memelihara apa yang menjadi budaya dan tradisi leluhur.
Wakil Nonoman Sunda Wiwitan di Kampung Pasir, Panji Raksana (26) mengatakan, sebagai nonoman tugasnya kiwari ini harus memberdayakan dan menjaga apa yang telah dilestarikan oleh sepuh dan para leluhur adat. Seperti budaya yang erat dengan keseharian atau pun yang berhubungan dengan lingkungan.
“Peran nonoman sekarang adalah Ngamumule (Memberdayakan) dan meneruskan apa yang telah ada,” kata Panji.
Upaya-upaya yang dilakukan Panji agar budaya di masyarakat adat terus lestari adalah dengan menerapkan hal yang lekat dengan tradisi adat sunda wiwitan. Menjadikan seni sebagai karya, menerapkan aksara sunda, dan menerapkan nilai-nilai budaya sejak dini.
Menurut Panji, berkaitan dengan kegiatan Sajajar Festival, itu merupakan suatu upaya pelestarian. Pendekatan yang inovatif dengan mendokumentasikan dan mengenalkan budaya masyarakat sunda wiwitan. Sehingga dengan adanya film ini orang dapat mengenal tidak hanya dari sebatas kata orang belaka, tapi tahu yang sebenarnya.
Tidak terlepas dari itu, dalam menjaga kebudayaan masyarakat adat antar generasi, Panji menyinggung andil pemerintah sangat diperlukan sebagai fasilitator kelestarian budaya. Lantaran sebelumnya pemerintah kerap kurang terbuka dengan keberadaan masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Perihal pembuatan KTP, misalnya. Sebagian masyarakat Sunda Wiwitan harus menyembunyikan identitas agama yang dianut di balik agama lain ataupun dengan mengosongkan kolom kepercayaan. Imbasnya masyarakat adat kesusahan bersosialisasi dan mengakui keyakinan secara legal, terlebih dalam hal yang bersifat administratif.
Panji berharap, kedepannya pemerintah bisa lebih terbuka dan mengakui keberadaan masyarakat adat sunda wiwitan. Sehingga bisa diakui resmi secara administratif dan sosial.
“Kedepannya pihak pemerintah dapat lebih peduli untuk menjaga tradisi, keseniannya untuk generasi muda sebagai penerus masyarakat adat,” harapnya.
Selain itu, Neti (20), sebagai nonoman perempuan masyarakat adat di Kampung Pasir juga melakukan upaya pelestarian budaya melalui berbagai cara. Di antaranya dengan usaha-usaha kecil melaui kerja kolektif perempuan yang konsisten, seperti membatik, melalui tarian tradisional, bernyanyi dan lainnya.
“Berawal dari usaha kecil yang diterapkan konsisten sehari-hari, tapi dapat berpengaruh besar untuk generasi selanjutnya,” kata Neti.
Peran nonoman perempuan Sunda Wiwitan terus berperan aktif dalam bekerja sama menjaga tradisi leluhurnya. Salah satu contohnya. yaitu selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang sering dilaksanakan di komunitas. Ini dikarenakan tidak banyaknya nonoman yang tetap melestarikan tradisi leluhurnya.
Tidak pedulinya generasi muda turut dipengaruhi oleh kemajuan zaman. Era digitalisasi perlahan mengikis ingatan dari tradisi leluhur. Oleh sebab itu nonoman sebagai generasi penerus harus ajeg dalam upaya merekam memori warisan tradisi dari leluhur.
Neti mengungkapkan, sebagai penerus warisan wajib untuk terlibat dalam upaya melestarikan budaya leluhur, agar bisa menjadi penerus (regenerasi) yang melestarikan kearifan lokal sebagai amanah yang harus dijaga.
“Kita diajarkan untuk menjunjung tinggi nilai dan moral dari tradisi tersebut supaya tidak ada yang hilang tenggelam dalam kemajuan zaman,” ungkap Neti.