Terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI periode 2019-2024 diharapkan akan membuat Indonesia menjadi peta kekuatan ekonomi yang tidak dapat dipandang sebelah mata, lengkap dengan langkah-langkah memadai, mulai dari strategi ekonomi dan sumber daya yang dipersiapkan dengan matang beserta tahapan perencanaan pemangkasan birokarasi yang mengganggu. Proses pembangunan ini diharapkan dapat mendulang dukungan masyarakat secara keseluruhan.
Proses tersebut tentu tidak lepas dari hal bagaimana masyarakat dan aparat pemerintah di Indonesia mengenal prinsip keberagaman yang termaktub dalam Bhinekka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun tetap satu dan prinsip ini yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. Keberagaman menjadi bagian kekayaan yang tidak terbantahkan dan menjadi bagian penting dari pembangunan negara yang dimulai dari pemberdayaan masyarakat di daerahnya. Keberagaman agama dan etnisitas berjalan lurus dengan melimpahnya sumber daya alam serta manusia dalam usia produktif yang selalu disebut sebagai bagian dari bonus demografi.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, bahkan pernah menyebutkan bahwa Indonesia merupakan Asia-Afrika mini, di mana didalamnya terdapat beragam agama dan suku serta telah terbentuk kehidupan yang toleran satu sama lain.
Atas dasar itulah keberagaman di Indonesia menjadi tolak ukur bagaimana perdamaian antar perbedaan yang ada seharusnya lebih dapat dikedepankan untuk mendukung jalannya pembangunan negara, termasuk bagi masyarakat tanpa terkecuali. Ditekankan pula oleh (mantan) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro bahwa masyarakat Indonesia perlu terus menghargai keberagaman dan perbedaan, mengukuhkan solidaritas sosial dan daya rekat di antara sesama, membangun harmoni sosial dengan memberikan pengakuan terhadap keunikan dan identitas khusus yang melekat pada setiap kelompok berbeda.
Maka, tidak salah jika pada masa konferensi Asia Afrika 1955 silam, Indonesia menjadi pusat perhatian dunia karena keberaniannya menentang prinsip kolonialisme dan imperialisme, serta mengumpulkan negara-negara Asia Afrika untuk bersama-sama berkomunike tentang merekatkan prinsip kemerdekaan dan berdaulat secara politik dan ekonomi dengan mengedepankan prinsip perdamaian agar saling berdampingan bagi pembangunan di setiap negara. Dan, khususnya di Indonesia, komunike bersama sebagai hasil dari konferensi Asia Afrika, yaitu Dasa Sila Bandung dapat kembali merekatkan bagian-bagian keberagaman dalam perdamaian yang sempat pecah karena munculnya konflik-konflik sektarian yang dianggap mengkhawatirkan serta dapat mempertajam perbedaan antara masyarakat yang berbeda secara agama, etnis, dan budaya.
Dasa Sila Bandung, HAM, dan Toleransi Indonesia
Salah satu prinsip Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat paska kemerdekaan untuk saling meneguhkan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dibuktikan dengan konferensi Asia Afrika melalui semangat persamaan dan hak-hak sebagai negara merdeka dan berdaulat tanpa prinsip kolonialisme dan imperialisme. Bukan hal mudah juga untuk melaksanakan konferensi besar ini di bawah kondisi ekonomi negara yang baru mereda dari peperangan dan sedang membangun, serta bagaimana meyakinkan para peserta konferensi bahwa setidaknya forum ini akan membawa dampak signifikan di dunia dan meningkatkan kerja sama antar negara peserta.
Konferensi ini berhasil mengeluarkan prinsip Dasasila Bandung, sepuluh pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia. Poin penting yang menjadi dasar utama adalah penghormatan hak-hak dasar manusia dan tujuan- tujuan serta asas-asas dasar yang termuat dalam piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dan pengakuan persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
Mencermati bagaimana Dasa Sila Bandung dapat menjadi sentral dalam konferensi Asia Afrika itu karena didalamnya melingkupi penghormatan terhadap prinsip hak asasi manusia yang juga menghormati hak-hak dasar manusia yang diakomodir oleh piagam Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Deklarasi Umum HAM 10 November 1948. Hak dasar yang dimaksud bagi manusia secara umum meliputi hak yang melekat pada semua manusia tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, dan status lainnya, termasuk hak untuk hidup dan kebebasan dari perbudakan, penyiksaan, kebebasan berpendapat, berekspresi, hak untuk bekerja, dan pendidikan. Sebagai tambahan, hak untuk kebebasan beragama dan berpikir, hak untuk berdemokrasi, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat. Hak-hak ini yang mencerminkan prinsip kemanusiaan dalam Dasa Sila Bandung yang menekankan prinsip kemerdekaan berdaulat dan kemanusiaan. Konferensi Asia Afrika di Bandung juga turut merayakan prinsip kebersamaan “freedom and peace are interdependent” atau kemerdekaan dan perdamaian merupakan hal yang terkait satu sama lain. Ini juga menjadi dasar Dasa Sila Bandung yang nantinya melatarbelakangi tegaknya prinsip “peaceful co-existence” atau hidup berdampingan secara damai.
Toleransi di Indonesia sudah dimulai dengan adanya Pancasila dan UUD 1945 yang menghormati hak dan kewajiban warga negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa melihat latar belakang suku, ras, agama, dan kepercayaan. Demikian juga dengan penetapan Dasa Sila Bandung, yang lebih menekankan kepada prinsip perdamaian dan kerja sama serta solidaritas bagi negara-negara yang ingin melepaskan diri seutuhnya dari cengkraman imperalisme dan kolonialisme. Semangat ini pula yang seharusnya dikembangkan di Jawa Barat, terutama , karena masih terpapar perilaku diskriminasi dan intoleransi dengan menduduki peringkat tinggi provinsi intoleran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) berdasarkan survei Setara Institut pada tahun 2018, dan sayangnya beberapa pelanggaran KBB tersebut di Jawa Barat dilakukan oleh aparat pemerintahan, sama halnya dengan provinsi lainnya yang masuk dalam peringkat tinggi provinsi intoleran.
Sudah saatnya aparat pemerintah negara ini, terutama Jawa Barat, kembali meneladani prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung yang menggariskan hidup berdampingan secara damai. Dasa Sila Bandung bukan hanya simbol sejarah yang hanya dirayakan sesaat sebagai bagian pelajaran bahwa pada suatu masa Bandung pernah menjadi ibu kota Asia Afrika dan menjadi salah satu tonggak utama negara sebagai lambang solidaritas internasional asia afrika untuk mengentaskan kolonialisme dan imperialisme. Ketika peristiwa diskriminasi dan intoleransi terhadap KBB terjadi banyak di Jawa Barat, bukannya seharusnya aparat pemerintah dan masyarakat secara luas seharusnya memaknai kembali secara mendalam mengenai sejarah konferensi Asia Afrika dan Dasa Sila Bandung yang secara harfiah berbasis kemanusiaan dan penghormatan seluas-luasnya terhadap hak asasi manusia berdasarkan prinsip Deklarasi Umum HAM PBB. Itulah yang seharusnya dipertimbangkan sebagai bagian dari pembangunan provinsi dan negara secara keseluruhan.
Fanny S Alam
Koordinator Regional Sekolah Damai Indonesia Bandung