Oleh: Avifah Arrafah
Saat ini dunia tengah dilanda duka yang mendalam. Kesedihan, ketakutan, dan ketegangan terasa di semua sudut negara. Dan aku, adalah satu dari jutaan putra putri bangsa yang merindukan orang tua mereka yang sedang berjuang di garda terdepan.
Sekarang adalah hari ke 15 Aku dan Ibuku memiliki jarak, beliau bekerja menjadi salah satu tim medis di RSU Dr. Slamet Garut. Menghadapi covid-19, ibuku diharuskan untuk siap siaga.
Beliau berangkat kerja pukul 07.00 WIB dan biasanya pulang selepas maghrib, atau ketika tugas malam beliau akan pergi sesudah maghrib dan pulang keesokan harinya. Ini adalah kegiatan rutin, yang dilakukan dari sebelum covid-19 hadir. Bedanya, sekarang aku sudah tidak bisa memeluknya. Setiap pulang kerja, ibuku dengan wajah yang sangat kelehahan diharuskan untuk langsung mengganti baju, mandi, dll. Tidak boleh ada kontak fisik yang beliau lakukan dengan keluarga sebelum membersihkan dirinya.
Bahkan dua hari kebelakang, ibuku demam karena kelelahan dan harus keramas tengah malam. Fyi, aku adalah pasien kanker otak dari 12 tahun yang lalu. Yang secara medis, pengidap kanker dikatakan sebagai golongan “rawan” tehadap covid-19. Ibuku paham betul akan situasi ini. Untuk melewatinya maka beliau menjauh dariku, membuat jarak dan pagar yang sangat jelas denganku. Bahkan denganku, sekalipun sudah membersihkan diri beliau tidak ingin kontak fisik terlalu dekat denganku, katanya takut.
Takut aku terkena virus apapun yang beliau bawa dari rumah sakit. Sedih rasanya, ketika sekarang sudah tidak ada lagi pelukan hangat yang ibuku berikan setiap pulang dinasnya. Sudah tidak ada salam cipika cipiki setiap ibuku pulang. Boro boro untuk meminta oleh oleh seperti biasanya, liat beliau pulang saja, berasa bahagia luar biasa.
Beliau hampir tiap malam bersin, bukan karena virus, tapi karena kedinginan mandi tengah malam. Ibuku juga pernah cerita, pakaian steril yang digunakan dirumah sakit itu sekali pakai, jadi kalau udah pakai jubah/baju itu katanya harus sekuat mungkin untuk tetap diruangan isolasi dan menahan segala aktivitas. Termasuk buang air kecil, makan, dll.
Ditengah perjuangan ibu dan teman temannya yang menahan lapar, menahan lelah luar biasa, menahan dekat dengan keluarga. Masih banyak masyarakat yang menganggap ini adalah hal sepele. Parahnya, ada saja orang orang yang dengan santai beraktivitas keluyuran dan lain-lain, dengan prinsip “Mati itu takdir Tuhan”.
Lalu bagaimana dengan ku dan anak anak lain yang ditakdirkan harus berjauhan dengan orang tuanya, bolehkan berfikir demikian ketika virus yang mematikan berada sangat dekat dengan orang tuaku? Bolehkan aku marah pada kalian yang masih santai dan menyepelekan virus ini, ketika orang tuaku diambang kematian. Bukan karena virus, tapi kelelahan mengahadapi kalian yang tidak peduli.
Untuk ibuku, dan seluruh pejuang di garda terdepan. Selamat bekerja, selamat mengabdi, kalian adalah pahlawan untuk dunia. Bukan hanya untuk kedamaian, tapi demi keselamatan masyarakat dan berlangsungnya kehidupan. Semoga Tuhan membersamai kalian dengan perlindungan-Nya.
Mari bantu aku untuk menahan rindu pada ibuku dengan #DirumahSaja. Supaya perjuangannya bisa cepat selesai, dan aku dapat kembali memeluknya.