Yang terlintas di pikiran ketika mendengar nama Ajip Rosidi disebut adalah pelbagai hal mengenai kebudaayan. Ia meneliti, menulis puisi dan prosa, kritikus, peletak dasar puisi modern dalam kesusastraan Sunda dan Indonesia, profesor tamu di Universitas Osaka Jepang sementara sekolah SMA pun tidak tamat, dokumentator, seorang modernis, pendiri Yayasan Rancagé dan direktur penerbit mayor Pustaka Jaya. Ia punya perananan besar, cemerlang, menarik, di cabang-cabang kebudayaan. Keburukannya pasti ada, tentu saja.
Kali pertama mengenalnya sekitar tahun 2008, ketika saya masuk pendidikan sarjana di Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda di UPI. Buku-bukunya jadi bacaan wajib sejak semester 1, semacam gerbang masuk menuju dunia yang luas di wilayah humaniora, sebut saja misalnya buku bertajuk “Bébér Layar”, “Ngalanglang Kasusastraan Sunda” dan “Manusia Sunda”. Jika masuk ke perpustakaan jurusan, lalu membuka skripsi, namanya sering muncul di daftar pustaka. Di deretan novel, puisi dan buku kajian, namanya juga tidak sulit ditemukan.
Ajip beberapa kali sempat datang ke kampus tapi saya tidak berani mendekatinya. Bagi saya kala itu, ia seperti mitos, terlalu banyak dibicarakan orang dan rasanya tak mungkin bisa saya sentuh dengan tangan. Atau dengan perumpamaan lain: saya punguk sementara ia adalah bulan. Ia bercakap-cakap bersama beberapa dosen di kantor jurusan, saya hanya berani memerhatikannya dari lorong. Ia bicara di podium dan saya tidak pernah berani mengacungkan tangan untuk bertanya. Dalam hal ini saya memang rada-rada kampungan.
Di samping ketokohannya begitu kuat, yang membuat saya enggan mendekat, Ajip dikenal sebagai orang yang galak. Di tahun 2016—untuk merepresentasikannya saya mengambil catatan facebook Cecep Burdansyah (30 Juli 2020)—Ajip mengusir perwakilan Kemendikbud. Perempuan itu datang ke perpustakaannya di Jalan Garut untuk melakukan wawancara. Hal pertama yang ditanyakan adalah tentang apa saja judul-judul buku yang telah ditulis. Artinya, ia tidak pernah membaca bukunya, tidak punya bekal wacana untuk mewawancarainya. Dengan mutu pertanyaan itu, ia bisa pulang cepat. Ajip mengusirnya tanpa berkeinginan menjawab pertanyaan pertama itu.
Tidak pandang bulu, tidak memedulikan hierarki sosial, Ajip bisa naik pitam jika tersinggung. Seniman, jurnalis, akademisi, atau pejabat tinggi negara sering saya dengar menjadi sasaran.
Tabiatnya membuat ia ditakuti sekaligus diandalkan. Jika ada orang berani menghina “kasundaan”, Ajip adalah orang pertama yang akan menghajarnya, kata dramawan Iman Soleh di UPI kampus Ledeng, tepatnya di Gedung PKM dalam helaran Riksa Budaya Sunda tahun 2011. Jika terjadi perang suku, kelakar seorang teman mahasiswa, masyarakat Sunda tidak akan kesulitan mencari panglima.
Di tahun 2011 Unpad memberikan honoris causa bidang humaniora pada Ajip. Honoris causa, gelar kehormatan yang diberikan pada orang berdedikasi terhadap ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, bukan berdasarkan jenjang pendidikan akademik. Gelar yang setarap dengan gelar doktoral (S3) ini tidak begitu saja diterima olehnya, apalagi dengan berbunga-bunga. Ajip justru malah mengajukan syarat pada panitia, syarat yang seakan sepele tapi bisa menunjukkan seperti apa pendiriannya, barangkali juga mengandung kritik terhadap kampus besar yang dilekati nama karajaan besar di tanah Sunda masa silam: padjadjaran. Kala itu Ajip berkenan menerimanya jika ia diizinkan berpidato dengan bahasa Sunda—bukan bahasa Indonesia atau bahasa asing—saat gelar itu diberikan.
Saya mendengar cerita itu dari penyair Ahda Imran di Kebun Seni sekitar tahun 2014/2015, di Selasar Bahasa sore hari. Ahda bukanlah akademisi. Ia juga bukan orang Sunda secara genetik, tapi berasal dari Bahurgunung Kab. 50 Kota Sumatera Barat. Akan tetapi, matanya tampak berbinar-binar saat menceritakan itu. Seakan-akan mata Ahda hendak memberi tahu, seharusnya demikianlah orang-orang besar bersikap pada bahasa daerah. Bahasa nasional dan bahasa asing memang penting, namun bahasa daerah seperti bahasa Sunda bukan berarti mesti dinomorduakan, apalagi disepelekan.
Pandangan khusus Ajip lainnya tentang bahasa Sunda adalah tentang sistem bahasa. Bahasa Sunda setelah masa islamisasi Mataram mulai mengenal undak-usuk bahasa, tingkatan-tingkatan bahasa. Ada bahasa tinggi, sedang, dan setara (loma), yang diadaptasi dari sistem bahasa Jawa. Hierarki bahasa tinggalan zaman kerajaan itu masih dipakai sampai sekarang, terutama di daerah Priangan. Di luar Priangan, sistem bahasa itu tidak begitu melekat, dan karenanya dianggap sebagai bahasa Sunda yang tidak baik. Ajip yang memiliki pikiran modern, seperti dapat dibaca di buku “Renaisans Sunda: Fungsi Sosial Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi” karya Teddi Muhtadin, mengajukan ketidaksepahaman mengenai itu.
Dalam alam pikiran demokratis, tingkatan bahasa tidak perlu dipakai secara saklek. Masa kerajaan yang feodalistik sudah lenyap dan hari ini kita lebih mementingkan kesetaraan antarmanusia. Bagi Ajip, orang memang boleh memakai undak-usuk tapi tidak perlu mewajibkannya. Orang Bandung tidak punya hak menyebut bahasa Sunda Karawang, Majalengka, Kuningan, itu buruk. Orang tua tidak perlu memarahi anak muda yang keliru menggunakan kata “candak” dan “bantun” yang artinya bawa, tertukar menggunakan kata “rorompok” dan “bumi” yang artinya rumah, dst.
Jika tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda masih digunakan secara saklek dan tak terbantah, wajar jika anak muda lebih menyukai bahasa Indonesia yang tidak terlalu kental dengan urusan tingkatan bahasa. Sebagaimana fundamentalisme di luar bahasa, fundamentalisme dalam bahasa Sunda bisa merusak dan menggerogoti dari dalam bahasa itu sendiri. Pada gilirannya bahasa Sunda ditinggalkan generasi baru karena para orang tuanya terlalu cerewet dengan sistem bahasa hierarkis yang berasal dari masa hegemoni Jawa di Sunda (islamisasi Mataram). Orang luar Priangan tentu sering merasa sakit hati, tidak percaya diri menggunakan bahasa Sunda, karena dianggap buruk penggunaan bahasanya. Alhasil, penutur basa Sunda terus menyusut.
Sebagian besar akademisi bahasa dan sastra, baik di jurusan Sastra Sunda (Unpad) maupun di Pendidikan Bahasa Sunda (UPI)—dua lembaga akademik yang berpengaruh—cenderung menyetujui pandangan Ajip tentang undak-usuk bahasa. Akan tetapi, barangkali, di tengah masyarakat luas pandangan itu masih kabur, masih perlu andil orang lain untuk menyebarkan pandangannya. Saat ini, sosok yang lahir di Jatiwangi, Majalengka, 31 Januari 1938 itu telah selesai dengan tugas hidupnya. Ia telah paripurna dalam usia 82 tahun. Di Rumah Sakit Tidar, Magelang, 29 Juli 2020 sekitar pukul 22.30, ia mengembuskan nafas terakhir.
Saat kabar duka itu saya terima, entah kenapa, tiba-tiba saya ingat salah satu puisinya di buku “Ular dan Kabut”, terbitan Pustaka Jaya tahun 1975:
Kabut
Yang putih menyilaukan adalah kabut
Yang mengurungku dalam samar adalah kabut
Yang mendinding menghalang langkah adalah kabut
Yang hadir tak terjamah adalah kabut
Yang bergetar tak terdengar adalah kabut
Yang diam, yang rahasia, yang tak pasti adalah kabut.
1972
Saya tidak mengenal Ajip secara dekat dan emosional, meski saya punya ketertarikan pada ranah humaniora, khususnya sastra, yang telah dijelajahnya dengan cara meyakinkan, kadang mengundang kontroversi. Saya hanya mengenalnya lewat buku-buku yang ia tulis, tulisan orang lain yang membahasnya, atau melalui pembicaraan orang lain, bahkan lebih banyak dari gosip-gosip di tempat nongkrong. Saya tidak pernah bercakap-cakap langsung meski ada beberapa kali kesempatan.
Selama di kampus atau di gedung kesenian, saya memilih menghindar, tak berminat untuk bertatap muka dalam jarak dekat. Sebetulnya, buku-bukunya pun tidak saya baca dengan detil, tidak ada yang saya baca sampai berkali-kali.
Untuk buku puisi bahasa Indonesia yang ditulis oleh penyair generasi purnabakti, yang saya baca berkali-kali dan kemudian saya tiru teknik penulisannya bukan buku Ajip, tapi buku Sapardi Djoko Damono, penyair yang wafat beberapa hari sebelum Ajip. Anehnya, saat Sapardi dikabarkan meninggal, saya bisa memakluminya dengan kesedihan yang wajar. Sapardi saya rasa sudah sepuh dan sudah terlalu sering masuk rumah sakit. Beda dengan mendengar kabar duka Ajip. Rasanya sulit untuk bisa mengatakannya tanpa sesak: “Selamat paripurna, Maestro.”
Singajaya, 30 Juli 2020.