Tasikmalaya – Aliansi Organisasi Bantuan Hukum dan Masyarakat Sipil Tasikmalaya mengadakan nonton bareng dan diskusi film dokumenter ‘Atas Nama Percaya’, di Cafe Bengkel Jajanan, Singaparna, Tasikmalaya, Selasa (4/2/2020).
Film ini mengangkat kisah kelompok penghatat kepercayaan Perjalanan di Jawa Barat dan Marapu di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kedua entitas tersebut mewakili ratusan kelompok penghayat yang tersebat di berbagai wilayah di Indonesia. Film berdurasi sekitar 40 menit itu bercerita tentang stigma, rentetan pasang surut pengakuan negara, serta penerimaan masyarakat pada kelompok penghayat.
“Nobar dan bedah film ‘Atas Nama Percaya’ ini sangat penting untuk dilaksanakan, karena dapat menambah wawasan kita, dan meningkatkan rasa toleransi antar sesama, apalagi di Tasikmalaya juga ada kelompok penghayat seperti Sunda Wiwitan yang masih mengalami tindakan diskriminasi,” Kata Ketua Panitia, Usama Ahmad Rizal.
Film Research Coordinator yang sekaligus Direktur CRCS UGM Dr Samsul Maarif dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Ketua PC PMII Kab. Tasikmalaya, Zamzam Multazam.
“Agama adalah bentuk konstruksi politik; Salah satu wujudnya adalah pengakuan agama-agama di Indonesia, yang hanya enam jumlahnya. Padahal pengamal kepercayaan di masyarakat Indonesia, mungkin lebih tua dan lebih banyak dari agama yang diakui itu sendiri di Indonesia,” ujar Dr Samsul, dalam pemaparannya.
Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan orang dari berbagai latar belakang, ada mahasiswa, aktivis dan advokat.
Ketua Lakpesdam NU Kabupaten Tasikmalaya, menegaskan sikap diskriminatif itu tercipta oleh sejarah.
”Stigmatisasi kepercayaan merupakan PR besar kita bersama, kita diajak tenggelam dalam narasi yang apik. Ini adalah bentuk konstruktif politik kesejarahan,” ujarnya.
Tahun 1952 Departemen Agama mendefinisikan bahwa yang namanya harus memuat beberapa kategori, adanya tuhan, adanya kitab suci dan adanya nabi. Sehingga bisa dikatakan seolah diskriminasi di kita itu diundang-undangkan.
Karena mereka, lanjut Aip, yang selama ini pemegang teguh kepercayaan, terintimidasi dengan adanya sekat-sekat ini.
“Saya pikir solusi terakhir dari semua ini adalah NU, karena NU sedari dulu sudah selesai dalam persoalan ini,” jelasnya.
Narasumber selanjutnya, Asep Abdul Rofik Ketua LBH Ansor Kabupaten Tasikmalaya, mengatakan bahwa keberagaman merupakan sunatulloh.
“Negara kebingungan ketika sudah berbicara intoleransi yang terjadi selama ini” ungkap Asep.
Yang kemudian kata Asep, negara sibuk mengurus hal yang remeh temeh, namun hal-hal yang lebih vital yakni agama belum selesai.
Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama dengan Ahmadiyah, Lakpesdam NU, LBH Ansor, Gumati Foundation, IMM, PMII, Forum Bhinneka Tunggal Ika dan POSBAKUM.