Pada hari ini tanggal 24 Maret dunia tengah memperingati hari Tuberkolosis (TBC), peringatan ini diadakan supaya masyarakat sadar bahwa TBC masih dikategorikan sebagai epidemi di dunia. Adanya penetapan hari TBC yang jatuh pada tanggal 24 disebabkan Robert Koch untuk pertama kalinya menemukan kuman TB yaitu Micobacterium Tuberculosis. Yang pada waktu itu penyakit TB banyak melanda di dataran Eropa dan menyebabkan kematian 1 dari 7 penderita TB.
Penyebaran TBC tidak hanya terjadi di Eropa saja akan tetapi di Indonesia pun terdapat catatan sejarah prihal penanganan TBC ini. Terbukti pada abad ke delapan kasus TB tercatat pada salah satu relief di candi Borobudur tergambar penderita yang kurus kering.
Dan di zaman Hindia Belanda ada beberapa catatan terkait kegiatan TB, yaitu: Perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculose Bestrijding (CVT) dibentuk pada 1908 dan tahun 1939 didirikan 15 sanatorium untuk perawatan pasien TB paru dan 20 consultatie bureaux yang memberi penyuluhan dan pengobatan.
Setelah merdeka yaitu pada zaman Orde Lama (1945-1966) didirikan Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru-paru (LP4) didirikan di Yogyakarta. Yang dikenal dengan Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4), lembaga tersebut disebarluaskan hingga ke 53 lokasi. Pada tahun 1950 Jenderal Soedirman meninggal karena TB.
Zaman Orde Baru pada kurun 1969-1973: Tanggung jawab penanganan TB dialihkan dari BP4 ke ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (P4M) Depkes RI. Program pemberantasan TB terkait erat dengan program pencegahan TB melalui imunisasi BCG, yang dikenal dengan Program Pemberantasan Tuberkulosis (TBC) dan BCG atau sering disebut sebagai P2TBC/BCG. Penemuan pasien TB telah dimulai dengan pemeriksaan dahak dan masa pengobatan berlangsung selama 1-2 tahun.
Pada kurun 1976–1994: Masa pengobatan menjadi lebih singkat, yakni dari 1-2 tahun menjadi 6 bulan dimulai uji coba strategi Directly Observed Treatment Short- course (DOTS) untuk kali pertama.
Tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan nama TBC di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, dan bisa ditelusuri dengan membagi beberapa periode. Pada abad ke delapan kasus TB tercatat pada salah satu relief di candi Borobudur tergambar penderita yang kurus kering.
Sebelum Indonesia merdeka yaitu di zaman Hindia Belanda ada beberapa catatan terkait kegiatan TB, yaitu: Perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculose Bestrijding (CVT) dibentuk pada 1908 dan tahun 1939 didirikan 15 sanatorium untuk perawatan pasien TB paru dan 20 consultatie bureaux yang memberi penyuluhan dan pengobatan.
Setelah merdeka yaitu pada zaman Orde Lama (1945-1966) didirikan Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru-paru (LP4) didirikan di Yogyakarta. Dikenal dengan Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4), lembaga tersebut disebarluaskan hingga ke 53 lokasi. Pada tahun 1950 Jenderal Soedirman meninggal karena TB.
Zaman Orde Baru
Pada kurun 1969-1973: Tanggung jawab penanganan TB dialihkan dari BP4 ke ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (P4M) Depkes RI. Program pemberantasan TB terkait erat dengan program pencegahan TB melalui imunisasi BCG, yang dikenal dengan Program Pemberantasan Tuberkulosis (TBC) dan BCG atau sering disebut sebagai P2TBC/BCG. Penemuan pasien TB telah dimulai dengan pemeriksaan dahak dan masa pengobatan berlangsung selama 1-2 tahun.
Pada kurun 1976–1994: Masa pengobatan menjadi lebih singkat, yakni dari 1-2 tahun menjadi 6 bulan dimulai uji coba strategi Directly Observed Treatment Short- course (DOTS) untuk kali pertama.
Zaman Reformasi (1998-Sekarang)
1999: Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr. dr. Achmad Sujudi, MHA membentuk Gerakan Terpadu Nasional TB pada 24 Maret sebagai cikal bakal kemitraan TB Indonesia.
2004: Survei prevalensi TB secara nasional dilakukan bersama Litbangkes Departemen Kesehatan RI
2006: Survei resistensi obat TB dilakukan pertama kali di Indonesia.
2009: Program Nasional Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia mulai diterapkan.
2010: Strategi nasional program pengendalian TB berfokus pada penyediaan layanan TB berkualitas secara universal dengan menerapkan Jejaring Layanan Pemerintah Swasta atau Public Private Mix (PPM)
2013-2014: Survei prevalensi TB secara nasional menggunakan metode yang sangat sensitif sesuai dengan rekomendasi WHO.
2014: Sesuai indikator berbasis mikroskopis, Indonesia mencapai target MDGs dan telah menerima MDGs award atas prestasi yang dicapai.
2014: Indonesia meluncurkan pendekatan Keluarga Kesehatan dan Gerakan Masyarakat Kesehatan yang memasukkan penemuan pasien TB sebagai salah satu indikatornya. Dalam hal ini Puskesmas bertanggung jawab untuk melaksankan intervensi pendekatan keluarga termasuk dalam penanggulangan TB di wilayah mereka.
2015: TB menjadi salah satu target Rencana Nasional Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan menjadi program prioritas Presiden, menjadi salh satu dari 12 standar layanan minimum (SPM), dimana pemerintah melakukan evaluasi kinerja dan akuntabilitasnya dalam memberikan pelayanan publik. Saat ini SPM sedang berproses menjadi rancangan peraturan pemerintah (RPP).
2016: Indonesia merivisi strategi penanggulangan TB di Indonesia sesuai dengan hasil survai prevalens TB terbaru yang jauh lebih akurat. Penemuan dilakukan secara intensif, aktif dan masif. Jejaring layanan TB disempurnakan menjadi berbasis kabupaten/kota, district-based public-private mix.
Pengembangan strategi berdasarkan tantangan yang dihadapi program dan target yanga harus dicapai. Gambar berikut menampilkan perkebangan strategi penanggulangan TB yang dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1995.
Referensi: https://tbindonesia.or.id/informasi/tentang-tbc/sejarah-tbc-di-indonesia/